Imam Kedua

Intan Rahma
Chapter #13

Pilihan Hati

Jika bisa memilih, aku memilih untuk tetap tinggal. Akan tetapi, apa aku bisa? Bahkan, hujan pun tidak bisa memilih di bagian bumi mana dia akan jatuh.

***

Ishana mengatakan kepada Umi Halimah yang bertindak sebagai musrifah-nya bahwa dia butuh waktu untuk memikirkan ajakan taaruf dari Ustaz Ardi. Dia ingin meyakinkan diri sendiri lebih dahulu dan tidak ingin gegabah. Melalui bibinya, Ustaz Ardi menerima permintaan Ishana.   

“Asalamualaikum.”

Teriakan salam diiringi ketukan di pintu bertubi-tubi membuyarkan lamunan Ishana. Dia tergopoh-gopoh berjalan ke depan dengan cepat untuk membuka pintu. 

“Bunda!” Raka langsung memeluk tubuh mungil ibunya ketika pintu terbuka.

Ishana berusaha menahan tubuh agar tidak jatuh. Wanita itu memeluk putra sulungnya erat. Dirinya tidak mampu berkata-kata, matanya berkaca-kaca.

“Abang,” panggil Ziva membuat Raka melepas pelukan.

“Adeeek!” seru Raka seraya beralih memeluk adiknya.

Ishana dan Arjuna memandang haru kedua anak mereka. Tidak lama, ibunya Ishana datang menghampiri mereka. Arjuna langsung meraih tangan kanan mantan ibu mertuanya itu lalu menciumnya takzim. 

“Ibu apa kabarnya?” tanya Arjuna.

“Alhamdulillah, Ibu baik, Mas,” jawab Khadijjah sambil mengelus pundak Arjuna. “Kamu sendiri gimana kabarnya? Sudah lama sekali, ya, kita nggak ketemu.”

Hati Arjuna tersentuh mendengar mantan ibu mertuanya masih menyebut “Mas” kepadanya. Digenggamnya tangan Khadijjah dengan hangat. 

“Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Masih suka kangen Ibu juga.”

Ishana tidak kuasa menahan air mata melihat pemandangan di hadapannya: dua orang yang saling melepas rindu. Dulu, mungkin sampai sekarang, ibunya sangat menyayangi Arjuna. Begitu juga sebaliknya.

Ishana membawa anak-anak ke ruang tengah, memberi waktu kepada Arjuna dan ibunya untuk saling berbincang. Detik berikutnya, Raka sudah asyik bermain dengan Ziva.

Sepanjang hari itu, Arjuna menghabiskan waktu di rumah Ishana, bermain bersama kedua anaknya, berbincang akrab dengan Ishana, serta menikmati masakan Khadijjah. Ishana melihat beberapa kali ponsel Arjuna berdering, tetapi lelaki itu mengabaikannya. 

          “Angkat dulu, Mas,  teleponnya. Dari Arnetta, ya?” kata Ishana, “takutnya penting.”

“Nanti aja, aku telepon dia kalau udah mau pulang,” ucap Arjuna. 

Tanpa terasa waktu sudah hampir tengah malam. Secangkir kopi menemani Arjuna dan Ishana berbincang di teras belakang. Anak-anak sudah tidur ditemani nenek mereka. Arjuna memandang taman mungil di hadapannya yang dihiasi mawar putih serta beberapa anggrek. Bibirnya pun tersenyum.

“Kenapa, Mas, kok, senyum-senyum gitu?”

           Arjuna mengeleng. “Kamu masih suka koleksi bunga?”

“Iya. Bunga-bunga di rumah masih dirawat sama Bik Siti, ‘kan?” Ishana bertanya balik.

Arjuna menggeleng. “Bik Siti udah lama nggak kerja lagi sama aku, Han. Setahun setelah kita pisah, Bik Siti pulang kampung.” 

“Ha?”

“Koleksi bunga-bunga kumu aku buang karena Netta nggak pintar ngerawat bunga. Maaf.” 

Ishana menunduk, kecewa. Hening melingkupi keduanya sampai Arjuna memanggil nama Ishana.

“Iya, Mas?”

Lihat selengkapnya