Ishana bersimpuh di atas sajadah, khusyuk bermunajat kepada sang pemilik hati. Dirinya hanya ingin berserah diri tanpa memikirkan gundahnya hati.
Semilir angin malam menerobos masuk lewat jendela yang terbuka. Ishana menyukai itu. Aroma rumput yang terbawa angin terasa menenangkan untuknya. Dia lantas berjalan mendekati jendela. Kamarnya menghadap halaman belakang yang dipenuhi tanaman anggrek. Wangi bunga-bunga cantik itu tercium sampai di tempatnya berdiri.
Ishana tersenyum kala mendengar ayat-ayat suci Al-Qur’an mulai dilantunkan dari masjid pesantren. Beberapa santri bergiliran menyelesaikan bacaan Al-Qur’an mereka. Meski malam sudah berada di puncaknya, tetapi mereka tetap bersemangat berlomba-lomba meraih cinta Illahi.
Ishana melepas mukena lalu menggantungnya di gantungan khusus ketika tenggorokannya terasa kering. Dia pun pergi ke dapur. Di sana dilihatnya Khadijjah tengah bersiap mengambil wudu.
”Sudah salat tahajud, Nak?”
“Alhamdulillah, sudah, Bu,” jawab Ishana seraya mengisi gelas dengan air putih. “Hana ke kamar dulu, ya, Bu.”
Setelah melihat Khadijjah mengangguk, Ishana masuk ke kamarnya untuk bermurajaah sambil menunggu waktu subuh tiba.
Lantunan indah suara azan yang dikumandangan Ustaz Ardi membuat Ishana beranjak kamar mandi untuk mengambil wudu. Selesai salat Subuh, dia termenung seraya duduk di sajadah. Pikirannya melayang pada ajakan taaruf dari ustaz muda itu.
Kenapa semua terjadi begitu tiba-tiba? Apa yang sebenarnya membuat lelaki itu memilihnya? Ardi adalah lelaki sholeh yang sangat mengerti agama. Sedangkan dirinya hanya seorang wanita yang baru menapaki kaki menuju kata “saleha”. Masih banyak yang perlu Ishana perbaiki.
Dengan wajah rupawan, penghasilan mapan, dan agama yang baik tentu tidak sulit bagi Ardi untuk mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dibandingkan dirinya. Terlebih lagi Ishana adalah seorang janda anak dua. Dari cerita Umi Halimah, Ardi adalah seorang duda. Fatma, istrinya meninggal empat tahun lalu karena kecelakaan. Mereka belum dikaruniai anak.
“Hana, sudah selesai salatnya?” suara Khadijjah membuat Ishana tersadar.
Perempuan itu menoleh dan mendapati sang ibu sudah duduk di sisi ranjangnya. Ishana berdiri lalu melepas mukena. Segera dia duduk di samping ibunya.
“Apa yang sedang kamu pikirkan, Nak?” tanya
Khadijjah lembut.
Ishana menarik napas panjang. Dia rebahkan diri di pangkuan Khadijjah. “Hana harus bagaimana, Bu?”
“Maksudmu, Ardi?”
Ishana mengangguk.
“Ardi lelaki baik yang Ibu yakin dia bisa menjadikanmu wanita yang lebih baik lagi, Nak. Sudah saatnya kamu ada yang mendampingi, kembali menjalani rumah tangga. Kamu sudah paham, kan, bahwa pernikahan adalah ibadah. Maka tidak dianjurkan untuk menunda-nunda ibadah yang menjanjikan begitu banyak pahala di dalamnya,” ucap Khadijjah seraya mengusap-usap kepala putri bungsunya. “Kalian sama-sama pernah berumah tangga, Ibu yakin dia bisa membimbing kamu dengan cara yang baik.”
“Ibu, kemarin Arnetta datang ke sini,” ucap Ishana setelah terdiam beberapa waktu.
“Kalian bicara baik-baik?”