Imam Kedua

Intan Rahma
Chapter #16

Dia yang Pernah Hadir

Ishana menyerahkan urusan pernikahannya kepada ibu juga Umi Halimah. Mengingat itu adalah pernikahan kedua, Ishana dan Ardi ingin menggelar syukuran sederhana saja.

Beberapa minggu sebelum acara dilaksanakan, Ishana minta izin kepada Khadijjah untuk pergi ke Jakarta. Dia ingin menjual apartemen miliknya yang dibelikan oleh Arjuna dahulu. Ishana juga berniat menginap satu hari di sana sebab ingin bertemu dengan putra sulungnya. 

“Hati-hati, ya, Nak. Jaga diri selama di Jakarta. Semoga urusanmu diberikan kelancaran,” tutur Khadijjah seraya mengantar putri bungsunya ke mobil.

Ishana mengangguk.

“Hana titip Ziva, ya, Bu. Dia pulang sore karena langsung ke madrasah,” pesan Ishana seraya mencium punggung tangan Khadijjah lalu masuk ke dalam mobil. Honda Jazz merah itu lantas meluncur meninggalkan Kota Bogor.  

Dua jam kemudian, Ishana sampai di Jakarta. Setelah mengurus penjualan apartemennya, dia berjalan menuju suite miliknya. Ishana menekan kode pada pintu lantas masuk. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Apartemennya terlihat rapi dan bersih. Semua foto masih berada di tempatnya, termasuk foto pernikahannya dengan Arjuna.

Ishana berjalan ke kamar utama dan membuka pintunya. Dia tertegun memandang suasana kamar. Semuanya rapi.

“Apa mungkin Mas Juna baru dari sini?” batin Ishana.

Wangi pengharum ruangan masih tercium olehnya. Ishana membuka lemari pakaian dan kembali terkejut ketika melihat beberapa pakaian milik mantan suami masih tersusun rapi di sana. Perempuan itu menghela napas panjang lalu berjalan keluar kamar. 

Dia menghampiri meja kerja Arjuna, kemudian duduk di sana. Tangannya meraih selembar kertas dan menulis surat untuk lelaki yang pernah dicintainya itu.

 

“Asalamualaikum, Mas Juna. Aku minta maaf sudah mengabaikanmu beberapa minggu ini. Maaf sudah membuatmu menunggu. Lepaskan aku, Mas. Biarkan aku bahagia dengan caraku sendiri. Ikhlaskan perpisahan kita. Terima kasih sudah mencariku dan Ziva selama ini. Terima kasih untuk tetap mencintaiku. Namun, berikanlah cintamu sepenuhnya untuk Arnetta dan Maura. Bagaimanapun kondisi Maura, dia tetap darah dagingmu. Tetaplah berada di samping Arnetta. Aku akan mendoakan yang terbaik untukmu, Arnetta, dan Maura.

Semoga suatu saat nanti, kita bisa sama-sama melepaskan ego masing-masing demi Raka dan Ziva. Wasalam. Hana.”

 

Setelah mengakhiri surat yang penuh rasa haru itu, berurailah air mata Ishana.

Lihat selengkapnya