“Astagfirullah!”
Ishana terkejut ketika mendengar kalimat azan berkumandang. Saat menyadari Ardi sudah tidak berada di sampingnya, perempuan itu segera bangkit dari ranjang untuk berwudu. Ada suara gemericik air dari kamar mandi. Tak lama Ardi keluar dengan rambut basah. Lelaki itu tersenyum melihat muka bantal istrinya.
“Mau salat Subuh?”
Ishana mengangguk. “Maaf, Mas, aku kesiangan. Aku mandi dulu, ya. Silakan kalau Mas mau salat duluan.”
“Ya, sudah, aku tunggu. Jangan lama-lama mandinya, nanti nggak kebagian waktu salat.”
“Mas nggak salat di masjid?”
“Aku mau imamin kamu salat Subuh pertama sebagai suami kamu,” jawab Ardi sambil tersenyum.
Ishana tersipu, buru-buru dia masuk kamar mandi. Usai salat, Ishana minta izin ke suaminya untuk menyiapkan sarapan.
“Hana, di sini udah lama nggak ada yang masak. Aku biasa sarapan di rumah Abi atau Umi Halimah. Nggak ada bahan makanan di dapur, jadi hari ini kita sarapan di rumah Abi dulu, ya. Nanti selesai sarapan kita belanja,” tutur Ardi.
Ishana tersenyum sambil mengangguk.
“Umma udah mengirim pesan tadi malam agar kita sarapan di rumahnya. “
Umma yang disebut Ardi adalah ibunya. Murid-murid pesantren memanggilnya dengan Umi Marwah. Beliau adalah Ustazah terkenal di kota mereka dan sering memberikan ceramah-ceramah baik di pesantren miliknya maupun undangan-undangan dari luar kota.
“Kalau gitu, aku siap-siap dulu, Mas,” kata Ishana, “aku mau bantu Umma masak untuk sarapan.”
“Oke.”
Ardi duduk di sofa, menunggu istrinya bersiap. Tangannya meraih buku dari meja di samping sofa, kemudian mulai membaca.
Ketika Ishana tengah merapikan jilbab di depan cermin, Ardi menghampiri. Perempuan itu menghentikan aktivitasnya.
“Kenapa, Mas? Udah selesai bacanya?” tanya Ishana heran.
Ardi menatap wajah sang istri lalu melepas jilbab yang sudah terpasang di kepalanya. “Kamu punya khimar, Hana? Yang lebih panjang dari ini?”
Ishana tertegun.
“Hana?”
“Eh … i-iya, Mas, sebentar aku cek di koper,” jawab Ishana. Dia lantas membuka koper yang semalam dibawakan ibunya ke rumah Ardi. “Alhamdulillah, ada, Mas, warnanya cocok sama gamis yang aku pakai ini.”
Ardi tersenyum lalu memakaikan khimar itu di kepala sang istri.
“Boleh nggak kalau mulai sekarang wajah cantik ini cuma jadi milikku seorang?” bisik Ardi.
Mendengar ucapan itu, Ishana menunduk karena merasa tersentil hatinya.
“Maksud, Mas, a-ku ....” Kalimatnya terpotong oleh
Ardi.
“Nanti kita mampir ke supermarket, yuk, belanja nikab yang banyak, biar istriku makin cantik.”