Hari itu, Raka bilang ke Ishana bahwa ayah dan ibu sambungnya akan datang menjemput. Ishana yang berencana untuk bicara dengan Arjuna mengenai kepindahan Raka segera bersiap.
Usai berganti pakaian, dia lantas mengenakan nikab. Itu adalah kali pertama dia melakukannya. Dia merasa jauh lebih nyaman dan terlindungi dibanding sebelumnya.
“Masyaallah ….”
Ishana refleks menoleh ketika mendengar suara Ardi dari arah pintu kamar. Lelaki itu tersenyum lembut sambil berjalan mendekat.
“Gimana, Mas?” tanya Ishana malu-malu.
“Cantik,” puji Ardi seraya merapikan khimar dan nikab yang belum terikat rapi.
“Berantakan, ya, Mas? Aku baru pertama kali pakai ini.”
“Secantik-cantiknya wanita adalah mereka yang menjaga pandangan dan auratnya hanya untuk orang yang halal baginya. Meski hukum memakai nikab bagi beberapa mazhab adalah sunah, tapi keutamaan memakai nikab adalah untuk melindungi diri seorang wanita.” Ardi tersenyum. “Sekarang apa yang kamu rasakan setelah memakainya?”
Ishana tertunduk malu. Dirinya mengakui bahwa apa yang dikatakan Ardi adalah kebenaran karena sejatinya wanita adalah fitnah paling besar bagi kaum lelaki.
“Mas benar. Terima kasih karena sudah mengingatkan dan mengajakku hijrah. Jujur, Mas, setelah memakai pakaian ini aku merasa lebih nyaman dan aman.” Ishana mendongak menatap Ardi sambil tersenyum.
“Ini sudah kewajibanku sebagai suami karena aku nggak ingin istriku memperlihatkan keindahanmu pada orang lain selain dari mahram sendiri. Aku akan membantumu membiasakan diri pakai nikab. Nanti kita beli nikab lagi,” ujar Ardi. “Ya, udah, yuk, kita berangkat.” Diraihnya tangan Ishana.
Ishana memandang tangannya yang digenggam sang suami. Dia yang sudah hampir mati rasa pada lawan jenis, bahkan sudah lupa dengan indahnya rasa cinta, kini mulai merasakan nyaman itu kembali meresap ke dada. Sudah lama tidak ada yang memperhatikan dirinya sedekat itu, tidak ada yang mendampingi dan menemaninya.
Saat melewati area pesantren, Ardi tidak melepaskan genggamannya. Puluhan pasang mata memandang mereka. Para santriwati heboh dan berbisik-bisik. Sekelompok santriwati di lantai 2 gedung kelas pesantren pun memicingkan mata mereka ke arah parkiran. Sementara itu, para santri mengangguk sopan pada Ardi tanpa melabuhkan pandangan ke Ishana.
Sempat terdengar suara mereka berkata, “Itu Ustazah Hana, ‘kan, ya? Cantik sekali pakai cadar.”
Ardi mempercepat langkahnya menuju mobil. Lelaki itu membukakan pintu mobil untuk sang istri sebelum berputar ke arah pintu yang satunya lagi.