Malam itu, Ishana dan Ardi tengah bercengkerama di sofa, tempat favorit keduanya saat berada di kamar, untuk bersantai. Ardi merebahkan kepala di pangkuan sang istri sementara Ishana membelai rambut ikal suaminya.
“Mas, aku boleh tanya sesuatu? Tapi, jangan marah, ya.”
“Hem, mau tanya apa?” Ardi menjawab dengan mata terpejam, menikmati belai nan lembut tangan Ishana di kepalanya.
Ishana berdeham. “Apa pandangan kamu tentang poligami, Mas?”
Ardi membuka mata sambil mendongak menatap istrinya. “Poligami?”
Ishana mengangguk. Senyum manis terulas di bibirnya.
“Kenapa tiba-tiba tanya soal itu?”
“Nggak apa-apa, sih, cuma ingin belajar aja,” sahut Ishana dengan nada suara dibuat sesantai mungkin padahal susah payah dia menahan air mata.
Ardi kembali terpejam, meredam deru di dada sebab dia paham arah pembicaraan istrinya. “Buat aku, poligami biasa aja, nggak ada yang istimewa. Selama pelaksanaannya sesuai dengan syariat Islam menurutku sah-sah aja.”
“Kalau soal pahala gimana, Mas?”
“Pahala?”
Ishana mengangguk. “Kalau istri merelakan suaminya untuk poligami, apa si istri dapat pahala?”
Mendengar pertanyaan itu, hati Ardi kian perih.
“Mas?”
Ardi berdeham dengan mata masih terpejam. “Pahala untuk istri yang rela dipoligami ada tiga macam. Pertama, saat suaminya menikah lagi dengan wanita lain, maka itu akan jadi ujian bagi istri pertama. Kalau dia bersabar maka dia akan dapat pahala bersabar dari ujian itu.” Ardi menghela napas berat. “Kedua, ketika seorang istri menerima poligami suaminya dengan tetap berbuat baik kepada istri kedua, maka baginya pahala bagi orang-orang yang berlaku baik.”
Ishana mendongak, menghalau air mata yang hendak tumpah.
“Pahala yang ketiga ....” Ardi berdeham lagi sebab suaranya menjadi serak. “Kalau dia hendak marah, tetapi bisa meredam amarahnya maka dia akan dapat pahala dari menahan amarah itu.”
Ishana menunduk lalu berbisik, “Aku ingin dapat pahala itu, Mas.”
Refleks Ardi mengubah posisinya menjadi duduk. Keningnya mengerut seraya menatap Ishana tanpa mengucap sepatah kata pun.