“Kamu abaikan permintaan Abah, ya, Sayang. Aku minta maaf karena kamu harus mengalami ini.” Ardi mengusap punggung Ishana yang tidur membelakanginya.
Ishana tidak menjawab, hanya terdengar isak tangisnya.
“Besok aku mau berkunjung ke Ustaz Zaki dan bilang langsung kalau aku nggak bisa nikah sama Salwa. Aku nggak cinta sama dia, Hana. Cuma kamu satu-satunya wanita yang aku cintai,” rayu Ardi sebab tidak tahan mendengar tangisan istrinya.
Dia lantas berbaring di samping Ishana, kemudian memeluknya dengan hati-hati.
“Maafkan aku seharian ini mengabaikan kamu, Sayang. Jangan marah, ya.” Lelaki itu mempererat pelukannya. “Tak apa kalau kamu masih mau nangis. Aku temani.”
Ardi terpejam, dia benar-benar merasa lelah.
Tak lama, tangis Ishana berhenti. Dia berbalik menghadap sang suami. “Aku juga minta maaf, ya, Mas, kalau sudah membuat kamu tersinggung atas permintaanku. Aku panik waktu dokter bilang tentang penyakitku. Aku ngerasa jadi perempuan yang nggak sempurna buat kamu.”
Ardi membuka mata seraya tersenyum. “Sudah, ya, nggak usah bahas ini lagi nanti kamu stres. Aku nggak mau kamu makin sakit, Sayang.” Dielusnya pipi Ishana dengan lembut. “Aku tahu kamu nggak serius waktu minta aku poligami itu karena kamu cinta sama aku. Poligami itu berat banget. Walau pahalanya besar, tapi pengorbanannya juga besar.”
Ishana tersipu mendengar perkataan sang suami.
“Makanya jangan ngomong sembarangan. Kalau aku beneran poligami gimana?” goda Ardi.
Ishana cemberut. Perempuan itu mencubit lengan sang suami. “Awas aja kalau berani!” ancamnya.
Ardi terkekeh, kemudian melepaskan pelukannya. “Salat Isya dulu, yuk, lanjut ibadah malam,” katanya seraya mencium kening Ishana.
Dia pun turun dari ranjang lalu berjalan ke kamar mandi untuk berwudu sementara Ishana bergegas menyiapkan sajadah.
***
Pagi harinya, ketika Ardi pulang dari masjid, Ishana mengajaknya untuk duduk di sofa kamar mereka. Hari sabtu Ardi tidak ada jadwal mengajar sementara Raka dan Ziva menginap di rumah Khadijjah.
“Mas, aku mau bicara,” kata Ishana.
Ardi melingkarkan lengannya di bahu istrinya. “Ada apa?”
“Hari senin nanti, kan, jadwal kontrol aku ke dokter Vina. Gimana kalau aku tanya lagi tentang kemungkinan aku bisa hamil?”