Malam itu Ardi pamit menemui Kafka. Dia mengajak ustaz muda itu bertemu di satu kafe yang terletak di tengah Kota Bogor.
Kafka adalah guru Tahfiz di SMA Al Munawar. Dia juga guru mengaji Raka dan Ziva. Hubungan mereka cukup dekat karena Kafka adalah adik kelas Ardi ketika kuliah di Kairo.
“Ada apa Abang mengajakku ke sini?” tanya Kafka penasaran, “janganlah bikin aku bertanya-tanya, Bang,” candanya seraya tertawa kecil.
“Kamu kenal Salwa, Kaf?” Ardi balik bertanya.
“Salwa?”
“Hem.”
Kafka meneguk kopinya. “Kenal, sih, enggak. Cuma tahu aja, Bang. Kalau nggak salah dia adiknya Almarhumah Kak Fatma, ‘kan? Guru paud di Al Munawar juga,” jawabnya santai.
Ardi tertawa kecil. “Sejak kapan?”
“Apanya, Bang?”
“Sejak kapan kamu suka sama dia?”
Kafka menunduk seraya menahan senyuman. “Abang bisa aja.”
“Jadi?”
Ustaz muda itu berdeham. “Udah lama, Bang, dari waktu aku takziah ke rumah Abang pas Almarhumah Kak Fatma meninggal.”
Ardi berdecak. “Udah selama itu kenapa nggak pernah cerita?”
Kafka tersenyum kecut. Dia tahu betul jika Salwa menaruh hati ke Ardi, bukan kepada dirinya.
Ardi meraih cangkir cappuchino miliknya lalu menyesapnya perlahan. “Kaf.”
“Ya, Bang.”
“Kalau suka, kenapa nggak bilang ke dia?”
“Aku pernah punya niat mau taaruf sama dia, tapi ternyata Salwa menyukai lelaki lain. Jadi, aku mundur,” ucap Kafka ringan.
Kening Ardi mengerut. “Lelaki lain? Siapa?”
Kafka Ardi lekat-lekat, kemudian tersenyum masam. “Abang.”
“Aku?”
“Hem.” Kafka manggut-manggut. “Asep yang bilang, dulu waktu aku cari tahu tentang Salwa.”
“Kaf, kamu tahu? Abi sempat minta aku nikah lagi sama Salwa,” ucap Ardi pelan.
“Ha? Abang mau poligami?”
Ardi mengangguk-angguk. “Mereka minta aku untuk poligami.”
“Terus Kak Hana?”
Ardi mengusap bibir gelas kopinya dengan wajah tenang.
“Alasannya, Bang?”
“Karena Ustaz Zaki sakit keras, Kaf. Abi khawatir kalau nanti terjadi sesuatu terhadap beliau, Salwa akan hidup sebatang kara, nggak ada yang jaga.”
“Aku tahu soal sakitnya Ustaz Zaki, Bang.” Kafka menghela napas panjang berat. “Tapi ....”
Ardi tersenyum. Ditepuknya lengan ustaz muda di depannya. “Aku mencintai Hana,” bisiknya, “nggak ada wanita lain di hatiku selain dia, Kaf. Jangan khawatir.”
Kafka berdeham, dia tahu Ardi tengah bercanda dengannya.
“Alhamdulillah, sekarang Hana lagi hamil.”
“Beneran, Bang?” Sepasang mata hitam nan bening milik Kafka berbinar. “Selamat, ya. Semoga Kak Hana dan calon bayinya selalu sehat. Aamiin.”
“Aamiin. Makasih, Kaf.” Adi mengubah nada suaranya menjadi serius. “Kamu masih mau lanjutin niat taaruf sama Salwa?”