Imam Kedua

Intan Rahma
Chapter #33

Sandiwara Luar Biasa

Ketika Ardi tiba di rumah, Khadijjah menyambutnya dengan raut wajah cemas sementara Ishana masih terbaring di sofa. 

“Hana,” gumam Ardi seraya menghampiri sang istri lalu duduk di sisi sofa. 

Ishana terpejam dengan wajah pucat. Khadijjah mengolesi essential oil di hidung sang putri agar cepat sadar sedangkan Ziva berdiri di ujung sofa sambil terisak. 

“Belum sadar dari tadi, Bu?” tanya Ardi. 

Khadijjah menggeleng. Ardi mengusap kening sang istri dengan hati dipenuhi penyesalan.

“Kenapa bisa begini, Han?” ucapnya pelan, tetapi terdengar oleh Ziva. 

 “Bunda tadi lagi ambil minum, Abi. Waktu balik ke kamar, Bunda pingsan lagi,” kata Ziva. 

Ardi memandang sang putri. “Ziva jangan nangis ya, Nak.”

“Ziva takut, Bi. Ini yang kedua kalinya Bunda pingsan,” sahut Ziva di sela isak tangisnya.

“Bang Raka mana?” tanya Ardi. “Kita bawa Bunda ke rumah sakit.”

“Asalamualaikum.”

Terdengar suara Raka mengucap salam. Ardi menoleh, dilihatnya Raka masuk bersama Umi Halimah dan Ustaz Yusuf.

“Waalaikumsalam.”

“Kenapa bisa begini, Ar?” tanya Umi Halimah seraya memegang tangan Ishana, “kandungannya gimana?”

Khadijjah menggeleng pelan. “Insyaalah baik-baik aja, Um.”

“Alhamdulillah.”

“Ar, sebaiknya Hana dibawa ke rumah sakit saja,” timpal Ustaz Yusuf.

Tiba-tiba, tangan Ishana yang digenggam Umi Halimah bergerak lalu matanya terbuka perlahan-lahan.

“Sayang, kamu udah sadar?” tanya Ardi sambil memeluk pinggang sang istri yang masih terbaring. 

Tanpa sengaja kepalanya menyentuh perut Ishana. Umi Halimah yang melihat, menepuk lengan keponakannya.

“Ar, hati-hati kepalamu, jangan terlalu menekan perut Hana,” tegurnya.

Ardi buru-buru mengangkat kepala.

“Aku kenapa, Mas?” tanya Ishana dengan suara lemah.

“Bunda pingsan waktu ambil minum di dapur,” jawab Ziva.

Ishana menatap orang-orang yang mengelilinginya. “Maaf udah merepotkan di saat seperti ini,” bisiknya lemas.

“Hana, ke rumah sakit, ya? Wajahmu pucat begitu, sudah dua kali pingsan juga,” kata Ustaz Yusuf.

Ishana menggeleng. “Aku baik-baik saja, Abah, Umi, Ibu. Jangan khawatir.”

Minah datang membawa segelas teh hangat dan menyodorkannya kepada Ishana. “Diminum dulu, Bu.”

Ishana menurut. Dia lantas menyesep tehnya perlahan. Ada rasa hangat yang menjalar masuk lewat tengorokan, kemudian turun ke dada lalu berhenti di perut. Ishana merasa nyaman.

Setelah melihat keadaan sang putri sudah membaik, Khadijjah mengajak Ziva untuk kembali tidur. Raka juga ikut pamit ke kamar. Umi Halimah dan Ustaz Yusuf masih berbincang dengan Ardi dan Ishana sebelum akhirnya mereka pamit pulang.

“Tidur?” tanya Ardi pada sang istri. 

“Mau salat Tahajud dulu,” jawab Ishana datar sambil berusaha berdiri.

Ardi segera meraih tubuh sang istri, kemudian membopongnya. Lelaki itu sama sekali tidak bisa berpikir jernih ketika wanita yang dia cintai berada dalam kondisi lemah.

“Mas, aku bisa jalan sendiri,” protes Ishana dengan suara masih lemas. 

Ardi tak menjawab. Dia terus membawa Ishana ke kamar mereka di lantai dua lalu membaringkannya di ranjang. Lelaki itu lantas melepas jilbab istrinya yang basah keringat.

 “Kamu jangan banyak bergerak dulu. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa.”

“Aku nggak apa-apa, Mas. Maaf kalau aku ngerepotin kamu, ngerepotin semua orang.”

Ardi duduk di sisi tempat tidur, kemudian menatap Ishana dalam-dalam.

“Kenapa, Mas?” 

Ardi tersenyum lalu memeluk istrinya dengan lembut. Dibelainya rambut serta punggung Ishana pelan.

“Maafin aku, Sayang.” 

“Maaf?” Kening Ishana berkerut. “Untuk?”

“Salwa ....”

“Kenapa sama dia?”

Ardi terkejut mendengar pertanyaan sang istri lalu mengurai pelukannya. 

“Aku ngerti kalau kamu sayang sama Salwa, Mas. Biar bagaimanapun dia keluarga kamu walau Kak Fatma udah nggak ada.” Ishana tersenyum sambil menatap Ardi. “Tapi, kamu tetap harus menjaga sikap karena kalian bukan mahram, Salwa belum resmi jadi istri kamu, Mas.”

Ardi berdecak. “Sampai kapan pun, dia nggak akan pernah menjadi istriku, Hana. Jadi, jangan berkata seperti itu lagi.”

“Kalau ternyata kalian berjodoh gimana?” goda Ishana.

“Memangnya kamu mau punya adik madu?” Ardi menatap istrinya dengan kesal.

Ishana menggeleng. “Daripada punya adik madu mending kita pisah aja.”

Mendengar perkataan istrinya Ardi kembali memeluk Ishana gemas. “Jangan ngomong sembarangan, ah, nggak enak didengar.”

Ishana diam. Daripada beradu pendapat, lebih baik dia menikmati pelukan Ardi yang terlalu nyaman untuknya 

“Kamu tidur duluan, ya. Aku mau salat Tahajud dulu.” Ardi melepaskan pelukannya lalu mencium kening Ishana.

Setelah menyelimuti istrinya, dia beranjak ke kamar mandi untuk mengambil wudu.

Selesai menunaikan salat, Ardi berbaring di samping Ishana sambil memeluknya. Dia terpejam, menikmati kebahagaan yang meluap-luap di hati.

***

Lihat selengkapnya