Ardi terbangun ketika ponsel-nya berbunyi. Dia terkejut saat mendapati dirinya tertidur di sofa ruangan Salwa. Dia memandang ke sekeliling dan melihat Nirina tertidur di kursi dekat ranjang sementara Asep tidak terlihat di ruangan. Ponsel-nya terus berbunyi. Ardi lantas merogoh saku celana untuk mengambil ponsel itu. Nama putra sulungnya tertulis di layar. Buru-buru dia mengangkatnya.
“Abi lagi sama Bunda, ‘kan? Abang boleh bicara sama Bunda? Dari tadi Abang telepon Bunda, tapi nggak diangkat,” ucap Raka usai mereka berbalas salam.
Ardi tertegun. “Lagi sama Bunda? Astagfirullah!”
Refleks lelaki itu melirik jam yang melingkar di tangannya. Sudah pukul lima sore, tetapi dia masih di ruangan Salwa.
“Bi?”
Ardi berdeham. “Bunda lagi ke toilet, Bang. Ada pesan apa? Nanti Abi sampaikan atau nanti Abi telepon balik kalau Bunda sudah keluar dari toilet.”
“Iya, Bi.”
Setelah menutup telepon, cepat-cepat Ardi mengambil tasnya lalu keluar dari tempat itu. Dalam hati dia merutuki diri sendiri yang tidak sengaja tertidur sehingga lupa bahwa dia harus mengantar Hana ke Dokter Vina. Segera dia menelepon sang istri, tetapi hanya nada sambung yang terdengar.
“Ardi!”
Terdengar seseorang memanggil dari arah lobi. Ardi menoleh dan mendapati Seno berjalan mendekat.
“Ngapain di sini? Siapa yang sakit? Tadi aku lihat Umi sama Abah masuk lift. Abi sakit, Ar?”
“Salwa yang sakit, Sen,” jawab Ardi sambil mengetik pesan WA untuk sang istri.
Seno mengeryitkan lalu mengamati penampilan Ardi.
“Salwa ... adik iparmu? Adiknya Fatma? Kamu abis jagain dia? Kusut amat,” goda Seno.
Ardi berdecak sebal. “Sorry, aku ada janji sama Hana. Aku duluan, ya, nanti ngobrol lagi kalau ada waktu.” Ardi menepuk pundak Seno, kemudian berlalu.
Seno terkekeh. “Istrimu udah ada di ruangan Dokter Vina, tuh. Tapi, sebelumnya, ke toilet dulu, gih, beresin penampilan kamu, Ar, berantakan banget.”
Tanpa menjawab, Ardi bergegas menuju ruangan dokter kandungan langganan mereka. Di sana, dilihatnya Ishana duduk di ruang tunggu dokter Vina seraya sibuk menulis sesuatu di ponsel.
“Sayang.”
Ishana refleks mendongak. Dia mendapati Ardi tersenyum kepadanya.
“Maaf, aku telat,” bisik Ardi takut mengganggu pasien lain.
Tatapan lega Ishana lantas berubah menjadi tajam kala menyadari penampilan sang suami yang acak-acakan.
Belum sempat dia berkata apa-apa, namanya sudah dipanggil, Ishana lantas masuk ke ruangan dokter Vina. Mereka berada di dalam tidak kurang dari 20 menit.
Di perjalanan pulang, Ishana tidak banyak bicara. Perasaan bersalah menyelinap di hati Ardi. Meski begitu, dia tetap fokus menyetir meskipun hatinya gundah gulana. Tangan kirinya bergerak meraih tangan sang istri, kemudian menggenggamnya. Namun, Ishana tetap diam.