Ardi sampai di rumah ketika Ishana sudah terlelap. Setelah mandi dan berpakaian, lelaki itu naik ke ranjang, kemudian berbaring di sisi sang istri. Tangannya mengelus pipi Ishana lalu beralih mengusap perut wanita terkasih itu. Air mata luruh di pipi Ardi.
“Maafkan aku, Hana.”
Ardi menjadi muak dengan diri sendiri. Dia merasa dirinya menjelma sebagai Arjuna kedua yang menyakiti Hana dengan menghadirkan perempuan lain ke dalam rumah tangga mereka.
Ustaz muda anak sulung pemilik Yayasan Al-Munawar tersebut meraih tangan Ishana lalu menggenggamnya erat. Dikecupnya pelan punggung tangan perempuan yang sangat dicintainya itu.
Ishana menggeliat sebentar dengan mata yang masih terpejam. Lelaki itu tersenyum pedih sambil membelai rambut sang istri. Tubuh Ishana lantas didekapnya dengan penuh kasih.
Ardi terbangun ketika azan Subuh berkumandang. Baru saja dia hendak beranjak, tiba-tiba Ishana bergerak gelisah. Terdengar isakan lirih dari bibirnya.
Perlahan-lahan Ardi mengulurkan tangan, mengusap kepala Ishana agar dia kembali tenang dalam tidurnya.
Ishana membuka mata lalu memeluk suaminya erat. “Mas Ardi.”
“Tenanglah, Sayang, aku di sini.” Ardi mengecup puncak kepala istrinya. “Kamu mimpi buruk, ya?”
Ishana mengangguk. “Aku mimpi kamu pergi ningalin aku.”
“Aku ada di sini, di sampingmu, nggak pergi ke mana-mana.” Ardi memaksakan satu senyuman. “Sudah jangan nangis lagi. Tarik napas dalam-dalam lalu buang pelan-pelan. Kalau sudah tenang kita salat Subuh berjamaah, yuk.”
“Kamu nggak salat di masjid, Mas? Aku rindu sama suara kamu mengumandangkan Azan.”
Ardi tersenyum tipis seraya mengelus perut sang istri. Ada gelenyar rasa sakit di dadanya setiap mengurai senyuman untuk Ishana.
“Hari ini aku salat di rumah, Hana.”
***