Menjelaskan kepada Raka dan Ziva bahwa ayah sambung mereka akan menikah lagi bukan hal yang mudah bagi Ishana.
Raka yang sudah beranjak remaja dan memiliki trauma atas perpisahan ibunya dengan ayah kandungnya menjadi marah saat tahu hal itu. Raka yang kecewa lantas mengurung diri di kamar. Dia hanya keluar ketika waktunya sekolah dan makan. Bahkan tidak jarang dia melewatkan sarapannya.
Ishana akhirnya menitipkan Raka kepada Khadijjah. Dia berharap suatu hari nanti hati putra sulungnya mencair. Ishana terus berjuang meyakinkan Raka bahwa dirinya baik-baik saja.
Ardi melarang Ishana untuk membantu persiapan pernikahannya dengan Salwa. Dia khawatir sang istri akan kelelahan dan berakibat buruk terhadap kandungannya. Sudah banyak keluarga yang mengurus pernikahan mereka. Namun, lelaki itu merasa ada yang aneh dengan Ishana. Menjelang pernikahannya, ibu dua anak tersebut jadi lebih banyak diam. Seperti ketika Ardi baru pulang membeli cincin pernikahan, Ishana tidak menjawab salamnya.
Ardi bergegas mencari keberadaan sang istri. Lelaki itu tersenyum setelah melihat Ishana di dapur dengan segala kesibukannya. Perlahan Ardi mendekat, melingkarkan tangan di perutnya.
Ishana tersentak lalu refleks berbalik menghadap Ardi.
“Mas Ardi!”
Ardi tersenyum.
“Dapet cincinnya, Mas?”
“Hem.” Ardi memeluk istrinya erat. “Aku kangen. Jadi biarin begini dulu, ya.”
“Dua hari lagi mau menikah, kok, masih begini? Gimana kamu mau kasih kewajiban kamu sama istri berumu nanti?”
Ardi melepas pelukanya lalu menatap wajah Ishana lekat-lekat. “Sayang, wajahmu pucat begitu, kamu sakit? Kita ke dokter, ya, sekarang.”
“Aku nggak apa-apa, cuma capek aja,” bisik Ishana, “aku buatkan kopi, ya? Atau kamu mau teh?”
“Nggak usah.” Ardi menarik kursi makan lalu duduk, kemudian menatap Ishana yang masih berdiri di hadapannya. “Kamu marah?”
“Marah?” Ishana mengerutkan kening. “Kenapa harus marah?”
“Karena dua hari lagi aku akan mengucap ijab kabul dengan perempuan lain, karena aku mengabaikan kamu beberapa hari ini.”
Ishana tersenyum pedih.
“Maaf, Hana.”
“Aku baik-baik aja, nggak perlu minta maaf.”
“Kamu cemburu?”
“Memangnya aku masih punya hak untuk itu?”
“Hana ....”
“Sebentar lagi dia jadi bagian dari rumah tangga kita, aku harus mulai terbiasa membagi segalanya sama dia,” sahut Hana datar.
Ardi yang kesal mendengar ucapan Hana lantas menarik lengan wanita itu untuk duduk di pangkuannya.
Hana berusaha melepaskan diri dari dekapan Ardi. “Mas, jangan begini. Aku sedang belajar hidup tanpa kamu. Tolong hargai aku.”