Ardi berlari di sepanjang koridor rumah sakit sambil terus beristigfar. Di depan ruangan IGD, dia bertemu Kafka.
“Hana mana, Kaf? Apa yang terjadi? Gimana keadaannya?”
Kafka tersenyum sinis. Baru saja dia akan menelepon Ardi, lelaki itu sudah muncul di hadapannya.
“Kak Hana di bawa ke ruang operasi, sebaiknya kita tunggu di sana saja.”
Ardi menahan tangan Kafka.
“Kaf, apa terjadi? Aku suaminya, aku berhak untuk tahu keadaan istriku!”
Saat Kafka hendak menjawab, dari ujung lorong terlihat Khadijjah datang dengan wajah panik.
“Ar, apa yang terjadi sama Hana?”
Kafka lalu menceritakan secara singkat peristiwa buruk yang dialami Hana sambil berjalan ke IGD.
“Maaf, Bang, tadi aku yang gendong Kak Hana. Aku juga pinjam mobilmu. Aku panik lihat Kak Hana pendarahan begitu.”
“Astagfirullah,” gumam Ardi frustrasi.
Umi Marwah, Umi Halimah, dan Kiai Anwar yang juga datang mengucap terima kasih ke Kafka.
“Asalamualaikum,” suara Dokter Seno membuat semua menoleh.
“Waalaikumsalam,” jawab Kiai Anwar.
Usai bersalaman dengan semuanya, Dokter Seno menghampiri sahabatnya. “Ar, Dokter Vina belum keluar?”
Ardi menggeleng. Suasana hening.
“Mas?”
Panggil seseorang membuat Ardi mendongak. Salwa sudah berdiri di depannya. Namun, lelaki itu mengacuhkan perempuan yang baru saja sah menjadi istri keduanya tersebut.
Melihat Ardi diam saja, Salwa beranjak meninggalkan suaminya dan memilih duduk di samping Umi Halimah.
Sudah hampir satu jam Ishana ditangani secara medis, tetapi belum ada tanda-tanda dokter akan segera menyelesaikan tugas mereka. Tidak henti-henti Ardi berdoa. Dia tidak ingin terjadi hal buruk terhadap istri dan calon anaknya.
Akhirnya, Dokter Vina keluar ruangan. Ardi buru- buru menghampirinya diikuti Seno.
“Istri dan anak saya bagaimana, Dok? Mereka baik-baik saja, ‘kan?” tanya Ardi penuh harap.
“Ibu Ishana mengalami pendarahan hebat tadi begitu tiba di sini,” jawab Dokter Vina, “dengan berat hati saya harus mengatakan bahwa janin di kandungan Ibu Ishana harus diangkat.”
Bagai tersambar petir, ucapan Dokter Vina begitu menusuk hati Ardi.
“Ibu Ishana akan siuman beberapa jam lagi,” lanjut Dokter Vina.
Ardi mengusap sudut matanya yang berair lalu menerobos ke dalam ruang rawat istrinya. Di sana, Ishana terbaring lemah dengan selang infus terpasang di tangan. Ardi menghampiri istrinya yang pucat pasi. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana respons Ishana saat mengetahui dia keguguran. Ardi takut jika Ishana menjadi depresi.
“Maaf, Hana, Maafkan aku.” Ardi tergugu.
Mendengar tangis Ardi, Ishana terbangun. Dia melihat suaminya masih mengenakan pakaian yang dipakai untuk akad nikah.
“Mas.”
“Kamu udah bangun, Sayang? Ada yang sakit?”
“Aku kenapa?” Ishana balik bertanya. Dia berusaha untuk duduk bersandar. Namun, malah mengerang kesakitan.
“Sayang, kamu jangan banyak bergerak,” ucap Ardi sambil membantu istrinya kembali berbaring.
“Aku kenapa, Mas?” tanya Ishana lagi sambil menahan rasa nyeri di perutnya.
Ardi kembali menggenggam tangan sang istri seolah-olah memberi kekuatan untuknya agar bisa berkata jujur.
“Hana, kamu keguguran,” bisik Ardi.
Ishana langsung membekap mulut. Air mata berderai tiada henti. Tangannya terulur mengusap perut yang kembali rata.
“Nggak mungkin,” ucap Ishana lirih. Hatinya terasa ngilu.
Ardi yang tidak tahan melihat Ishana menangis, segera memeluknya
“Maafkan aku, Han. Aku lalai menjaga kalian,” ucap Ardi lantas ikut menangis.
“Mas, kamu sebaiknya pulang sekarang, jangan bikin Salwa nunggu terlalu lama. Maaf, aku udah ngerepotin kamu.”
“Hana, mau sampai kapan kamu siksa aku begini?”
“Mas, aku beneran nggak apa-apa. Nanti aku minta tolong Ibu untuk temani aku di sini.” Hana tersenyum dengan bibir bergetar. “Kamu pulang, gih. Nggak baik pengantin baru saling berjauhan begini.”
Ardi yang enggan menanggapi ucapan istrinya lalu berdiri. Dirapikannya selimut yang menutupi tubuh Ishana.
“Kamu harus istirahat, jangan berpikir macam-macam. Aku pulang dulu mau ambil baju ganti buat kamu.” Ardi mengecup kening Ishana sekilas. “Mau dibawakan makanan apa?” bisiknya.