Imam Kedua

Intan Rahma
Chapter #45

Masih Cinta

Ishana menatap Khadijjah dan Ziva yang tertidur lelap. Arjuna baru menelepon menanyakan kabar dan mengatakan bahwa Raka menginap dengannya di hotel. Esok dia akan datang menjenguk seraya mengantarkan Raka. Ketika Ishana hendak menyimpan ponsel-nya, benda itu berdering singkat. Ardi mengirimi pesan. 

“Asalamualaikum, Sayang, maaf, ya, aku nggak bisa menemanimu malam ini. Besok pagi, insyaallah, sebelum ke kampus aku mampir ke rumah sakit. Kamu tidur yang nyenyak, ya. I love you, Hana.” 

Tak lama, pintu kamar terbuka, Husen datang membawa dua koper.

“Bu, ini saya bawa pakaian Ibu dan Neng Ziva. Tadinya mau dibawa Umi Halimah, tapi beliau mendadak ada tamu. Jadi saya yang mengantar ke sini,” ucap supir keluarga Ardi.

“Taruh saja di situ, Pak. Terima kasih, ya,” jawab Ishana.

“Bapak suruh saya menungggu Ibu di sini, barangkali Ibu ada perlu apa-apa nanti. Saya di luar, ya, Bu.”

“Eeh, sebentar, Pak. Bapak di rumah, ‘kan? Pak Husen bawa mobil saya atau mobil Bapak?”

“Bapak di rumah Ibu Salwa, Bu. Tadi Bu Salwa sama Umi Halimah ada di rumah Bapak. Tapi, habis Isya, Bapak pergi ke rumah Bu Salwa.”

“Oh, ya sudah.”

“Saya tunggu di luar, ya, Bu.” Husen pamit, kemudian berjalan keluar kamar. 

Ishana tercekat. Kini dia mengerti kenapa Ardi tidak mengatakan alasannya tidak bisa datang menemani malam ini. Perempuan itu menyadari bahwa kini bukan hanya dia satu-satunya istri Ardi. Ada perempuan lain yang harus suaminya perlakukan sama.

Ishana menyeka sudut matanya yang mulai basah. Dia berbaring lalu terpejam, berusaha untuk segera tidur agar hatinya tidak terlalu sakit.

***

Ishana duduk di atas kursi roda sambil menikmati sinar matahari yang baru terjaga dari peraduannya. Wanita itu merapatkan cardigan panjangnya. Hawa dingin sisa hujan deras semalam terasa menusuk tulang. Bahkan pohon-pohon dan rerumputan di sekitar taman rumah sakit masih basah.

Ishana gundah sembari meraba perutnya yang kembali rata, tidak seperti hari-hari sebelumnya di mana ada kehidupan lain di dalamnya yang membuat dia dan Ardi diliputi kebahagiaan. Hati Ishana terasa sesak. Tenggorokannya tercekat menahan kristal bening yang menggenang di pelupuk mata. 

Sebuah kenyataan pahit menamparnya keras. Bayinya tidak bisa bertahan dan terpaksa harus pergi bersamaan dengan suaminya melangsungkan pernikahan kedua.

Berkali-kali Ishana membuang napas kasar. Meski begitu, dadanya tetap terasa penuh sesak.

“Ibu Ishana, sedang apa di sini? Saya mencari ke ruangan, tapi kata putri Ibu, Ibu sedang di sini. Ayo kembali ke kamar, Ibu harus sarapan dan minum obat.”

 Dengan sigap, Ishana mengusap jejak air mata dengan jarinya. Dia mendongak menatap perempuan yang berdiri di depannya, Suster Gita.

 “Sebentar lagi, ya, Sus. Saya butuh udara segar,” jawab Ishana.

 Setelah suster Gita pergi, Ishana kembali tenggelam dalam kesedihan. Bayangan ketika makhluk mungil itu bersemayam dalam perutnya lagi-lagi mengoyak hati Ishana. Di saat-saat seperti itu, dia sangat butuh kehadira dan dukungan suaminya. Namun, alih-alih mengobati luka hati sang istri, Ardi justu bersenang-senang dengan istri barunya.

Ishana mulai tidak yakin dirinya mampu bertahan. Cobaan itu terlalu berat, bukan hanya untuknya, tetapi juga untuk Raka dan Ziva.

“Di sini rupanya. Aku mencari di kamarmu, tapi kata Ziva kamu di taman. Apa yang kamu lakukan di sini, Hana? Suster bilang kamu belum sarapan dan minum obat.”

Suara berat terdengar dari belakang Ishana seiring dengan tubuh tegap seorang pria berjalan menghampirinya. 

Ishana menoleh dan menatap pria itu. Arjuna tersenyum kepadanya. Buru-buru Ishana menghapus air mata di wajah pucatnya.

 “Aku bosan di kamar terus, Mas. Raka mana?” tanya Ishana celingukan mencari sosok putranya.

 “Di kamarmu menemani Ziva. Ibu tadi pamit pulang dulu mau mandi, katanya.”

“Netta?”

“Nggak ikut. Maura ada acara di sekolahnya.” Arjuna lantas menyelimuti bahu Ishana dengan pashmina lebar yang dibawanya. “Dingin, Han.”

 Ishana tertegun melihat pashmina yang sudah tersampir di bahunya.  “Mas, ini ....” 

“Punyamu. Selalu siap di mobil, seperti dulu.” Arjuna tersenyum, senyum yang dahulu membuat Ishana tergila-gila kepadanya.

“Ardi mana, Han? Kok, nggak kelihatan?”

Lihat selengkapnya