Ardi berbaring di sofa panjang ruang tamu. Sambil mengembus napas panjang dan berat, dia terpejam. Dia lelah menghabiskan waktu seminggu bersama Salwa. Sepanjang liburan di Bali, pikiran Ardi terus melayang ke istri pertamanya.
Janji membawa Ishana ke Bali dan anak-anak ke Yogyakarta belum sempat terlaksana, kini Ardi malah asyik bersenang-senang bulan madu dengan istri baru.
Saking lelahnya, Ardi pun terlelap. Namun, itu hanya beberapa menit karena tiba-tiba dia merasa ada yang menyentuh dahinya. Ardi menahan tangan itu saat merasakan tangan tersebut bergerak menjauh.
Perlahan Ardi membuka mata, melihat wajah Ishana yang terkejut. Tak lama wajah terkejut wanita itu segera digantikan dengan senyum manis.
“Gimana honeymoon-nya, Mas?”
Masih menahan tangan istrinya, Ardi duduk. Tubuh Ishana yang membungkuk, membuat pandangan mereka sejajar. Ishana buru-buru menarik wajahnya saat wajah Ardi mendekat. Namun, dengan tangan yang dipegang erat, Ishana tidak leluasa bergerak. Perempuan itu terkejut saat Ardi menyentak tangannya hingga mendekat. Ishana bisa merasakan embusan napas hangat Ardi membelai telinganya.
“Aku lapar,” bisik Ardi.
Dahi Ishana mengernyit. Dia menatap suaminya lekat-lekat.
“Hana, aku lapar. Tolong buatkan aku makanan sama es kopi.”
Ishana mendorong Ardi menjauh. Menatap tajam lelaki di depannya dengan pandangan sebal. Lain halnya dengan Ardi, lelaki itu justru tertawa senang melihat kekesalan Ishana. Dia merindukan saat-saat menggoda istri tercintanya.
“Panggil aku, ya, kalau udah siap.”
Masih dengan tawanya, Ardi meninggalkan Ishana sendiri.
***
Ardi menatap sekeliling kamar. Wangi pengharum ruangan kesukaan Ishana menyapa saat pertama dia masuk kamar itu. Dia begitu merindukan tempat itu, padahal hanya ditinggal satu minggu. Ardi segera meraih handuk lalu bergegas ke kamar mandi.
Selesai membersihkan, Ardi menghampiri Ishana yang sedang berkutat di dapur. Ardi tersenyum melihat sang istri dengan segala kesibukannya.
“Sepi amat ini rumah. Raka sama Ziva ke mana?” tanya Ardi sembari meraih gelas berisi es kopi yang sudah disiapkan Ishana di meja dapur.
“Ini, kan, hari Sabtu, Mas. Mereka lagi sama Mas Juna,” jawab Ishana tanpa menoleh.
“Ah, iya, aku lupa,” ucapnya, “Bik Minah ke mana?”
“Di rumah Ibu. Ibu lagi banyak pesanan kue, jadi minta Bik Minah bantuin. Insyaallah, nanti sore pulang.”
Ardi mendekat, melingkarkan tangannya di pinggang Ishana. Dia letakkan dagunya di bahu sang istri, menghirup aroma manis vanila yang sudah seminggu tidak menghampiri indra penciumannya.
Malu-malu, Ishana menyikut perut Ardi, memberi isyarat agar suaminya melepaskan pelukannya.
“Kenapa? Kamu marah?” bisik Ardi.
Ishana diam. Tangannya bergerak meletakkan ayam yang sudah selesai digoreng ke piring. Dia lantas mengaduk-aduk sayur di panci.
“Hana ....”
“Makan, Mas.” Ishana berjalan ke meja makan seraya membawa sepiring ayam goreng dan mangkok berisi sayur lodeh kesukaan suaminya. “Maaf, cuma masak ini. Aku nggak tahu kalau Mas mau pulang ke sini hari ini.”
Ardi mengusap wajahnya gusar, hatinya tidak nyaman dengan perubahan sikap istri pertamanya. Dia merindukan Ishana yang lembut dan perhatian.
Lelaki itu memperhatikan Ishana menyendok nasi untuknya. Segera dia meraih piring dari tangan istrinya lalu mengisinya dengan sepotong ayam goreng. Ishana menuangkan sayur lodeh ke dalam mangkuk kecil, kemudian menyodorkan ke Ardi.
Ketika Ishana hendak menyendok nasi untuk dirinya sendiri, Ardi menahan tangannya.