Imam Kedua

Intan Rahma
Chapter #51

Mari Berpisah

Sudah hampir dua minggu Ardi tidak pulang ke rumah. Beberapa kali Ishana mengirim pesan, tetapi hanya dibalas singkat oleh Ardi. Ishana berusaha memaklumi sebab istri kedua suaminya sedang hamil. Itu karena dahulu Ardi berjanji akan bersikap adil. Namun, kenyataannya berbeda.

Sekarang Ishana menyesal kenapa dahulu dia setuju Ardi menikahi Salwa. Kenapa dahulu dia pasrah saja dengan keputusan yang diambil oleh suaminya itu. Kenapa dia tidak mampu mempertahankan Ardi di sisinya. Mungkin dahulu sebaiknya dia tegas meminta cerai saja daripada harus dipoligami.

Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Semua sudah terjadi dan tidak ada gunanya disesali.

***

Siang itu, Ishana memasukkan baju-bajunya dan baju-baju Raka serta Ziva ke dalam koper. Setelah selesai, dia membereskan peralatan make up lalu memasukkan ke travel bag kecil. Dua koper dan satu travel bag dia bawa keluar kamar, kemudian memasukkannya ke mobil tanpa banyak bicara. Dia dan kedua anaknya sepakat untuk tinggal sementara di rumah nenek mereka sebelum Ishana mendapat rumah baru. Begitu juga dengan sekolah Raka dan Ziva yang harus ikut pindah.

Tidak terlalu sulit memberi pengertian kepada Raka dan Ziva bahwa bunda dan abi mereka sedang ada masalah. Ishana menyesal telah menorehkan kembali luka yang sama di hati kedua anaknya. Namun, dirinya merasa tidak mampu lagi mempertahankan rumah tangga dengan Ardi.

Sudah sejak lama Ishana memikirkannya. Hari itu dia meneguhkan hati. Dirinya sudah mengirim pesan kepada Ardi, meminta suaminya untuk datang sebentar karena ada hal yang ingin dia biacarakan.

Ragu, takut, cemas, semuanya menjadi satu di hati Ishana. Jika dia mengungkapkan keinginannya, apa tanggapan Ardi? Apa yang akan suaminya lakukan? Lantas, bagaimana  keluarga besarnya, apa yang akan mereka pikirkan?

Ishana mendesah. Hal yang terpenting adalah bagaimana tanggapan Ardi? Jika suaminya setuju, masalah keluarga besarnya akan jauh lebih mudah. Sedangkan Salwa, sejak awal madunya itu memang tidak menyukainya. Jadi, Ishana pikir Salwa justru akan senang dengan keputusan tersebut.

Ishana baru saja menutup pintu bagasi mobilnya ketika Pajero hitam milik Ardi masuk ke garasi dan berhenti tepat di samping mobilnya. Ardi keluar dari mobil dengan tergesa-gesa, kemudian berjalan mendekati sang istri.

Ishana mengatur napas. Meyakinkan diri sendiri kalau semuanya akan baik-baik saja. Dia menyunggingkan senyum saat Ardi merentangkan kedua tangan untuk memeluknya. Ibu dua anak itu lantas berjalan mendekat, kemudian memeluk Ardi dengan canggung.

“Kalau begini, aku jadi susah untuk bicara, Mas,” batin Ishana.

“Apa kabar istriku ini?” tanya Ardi seraya meregangkan pelukannya lalu menatap Ishana dengan lembut.

Ishana berdeham. “Aku mau ngomong sesuatu, Mas.”

“Kita bicara di dalam, ya, Sayang. Tapi, bikinkan aku es jeruk dulu. Aku haus,” ucap Ardi sambil merangkul bahu sang istri sambil mengajaknya masuk.

Ishana bergegas menuju dapur untuk membuat es jeruk lalu membawanya ke ruang tengah. Ardi segera meraih gelas itu, kemudian meminum isinya perlahan.

“Kamu mau ngomong apa tadi?”

“Aku mau meminta sesuatu, Mas,” kata Ishana hati-hati.

“Maksudnya?” Ardi   menatap istrinya bingung. “Minta apa?”

  Ishana menghela napas. “Aku butuh persetujuan kamu untuk ini,” ucap Ishana seraya menyodorkan selembar kertas yang kemudian dia letakkan di meja.

Ardi meraih kertas itu. “Surat cerai?”

Ishana mengangguk. “Ya.”

“Maksud kamu apa ini, Hana?”

Ishana duduk seraya menyilangkan kaki, berusaha tegar walau perih menggerogoti hati.

Lihat selengkapnya