"Jika mungkin perasaan ini belum tepat waktunya untuk hadir, ku mohon jagalah perasaan ini Ya Allah. Sampai nanti tiba ada seseorang yang berhak mendapatkannya."
Matahari sudah kembali ke peraduannya. Sinar jingga kala senja mulai terlihat. Kendaraan sudah mulai memadati sepanjang jalan. Para manusia mulai berlomba-lomba untuk bisa segera kembali ke tempat terindah---rumah, setelah satu hari ini lelah bekerja mencari nafkah untuk keluarga.
Sama seperti halnya dengan Yusuf. Setelah seharian berkutat dengan pekerjaannya di rumah sakit---menemui pasien dan melakukan beberapa tindakan untuk pasien, kini ia sudah kembali ke rumah. Ia tinggal bersama sang ibu, Zahra. Ayahnya sudah kembali ke pangkuan sang pencipta 5 tahun silam. Yusuf adalah anak tunggal, maka dari itu ia sangat menyayangi sang ibu dan dia menjadi tulang punggung keluarganya.
Yusuf memarkirkan mobilnya di garasi rumahnya. Setelah itu, ia langsung menuju pintu utama, membukanya dan mengucapkan salam.
"Assalamualaikum Umi," sapa Yusuf memasuki rumah.
"Waalaikumussalam," jawab Fatimah dari ruang keluarga.
Yusuf menghampiri Zahra dan mencium punggung tangan kanan sang ibu. Zahra menepuk sofa di sebelah dirinya untuk mempersilahkan sang anak duduk disebelahnya. Dengan senang hati, Yusuf pun duduk disebelah sang ibu. Meskipun usianya sudah hampir masuk kepala tiga, namun tetap saja jika dengan sang ibu Yusuf akan menjadi seperti anak kecil yang bermanja-manja.
"Bagaimana pekerjaan kamu hari ini di rumah sakit?" tanya Zahra.
"Alhamdulillah, semuanya lancar Umi," jawab Yusuf.
"Alhamdulillah, Umi senang mendengarnya."
Zahra teringat akan sesuatu. Ia menatap lurus kedepan dimana ada televisi yang sedang menyala. Yusuf mengikuti arah pandang sang ibu. Namun, terlihat bahwa sang ibu hanya menatap kosong. Yusuf mengernyitkan keningnya. Ada apa dengan sang ibu sebenarnya?
"Umi," panggil Yusuf membuat Zahra menoleh padanya.
"Iya ada apa Nak?" tanya Zahra berusaha tersenyum.
"Umi kenapa?" tanya balik Yusuf.
"Emang Umi kenapa, Umi gak apa-apa kok," jawab Zahra.
"Jangan bohong Umi. Tadi Umi melamun, ada apa?"
Zahra menghela nafas pelan. Apa ia harus beritahukan ini pada sang anak?
"Kapan kamu menikah?" bukan jawaban, tapi pertanyaan yang keluar dari mulut Zahra.
Yusuf tertegun. Tak dipungkiri, ibunya sudah lama menginginkan ia untuk menikah. Bahkan, dirinya sudah beberapa kali menjalani ta'aruf. Namun, memang diantara wanita yang ber ta'aruf dengan dirinya belum ada yang bisa memikat hatinya. Wajar Zahra menanyakan itu tadi, mengingat usia Yusuf saat ini sudah hampir masuk kepala tiga.
"Belum ada jodohnya Umi."
Selalu dan selalu, itu jawaban yang diterima oleh Zahra dari putra semata wayangnya ini. Zahra memutar bola matanya malas. Anaknya ini terlalu sibuk bekerja jadi lupa dengan kehidupan pribadinya.
"Suf, kalau kamu gak mencari jodohnya gak akan datang sendiri," ujar Zahra.
"Iya Umi, Yusuf paham. Tapi, dari pengalaman Yusuf ta'aruf berkali-kali mereka semua gak ada yang memikat hati Yusuf. Bahkan, Yusuf sudah sholat istikharah tetap gak ada jawabannya."