Immortal Serum

Zal zal
Chapter #4

Chapter 4 | Dokter Jeanette Hautter

Lima tahun yang lalu di Rumah Sakit Angel Health, pusat kota Lauxzambreg.

“Kami, stasiun TV Falcon, melaporkan langsung dari kota Theresia, Distrik Selatan Morallo. Pada tahun 2031 ini, telah terdengar kabar baik di dunia medis...”

Televisi yang terpampang di dinding ruangan menampilkan sebuah acara berita.

“...seorang dokter muda, Jeanette Hautter, telah berhasil menyembuhkan pasien anak-anak dengan kanker paru-paru stadium 4. Dokter Jeanette melakukan operasi besar kepada pasien hanya dalam waktu dua jam dan berhasil menumpaskan semua sel kanker yang ada…”

Klik! 

Suara televisi mendadak berhenti. Gambar Jeanette yang sedang diwawancarai oleh seorang reporter di layar pun lenyap.

Di dalam sebuah ruangan eksklusif Rumah Sakit Angel Health, seorang pria berusia tiga puluhan, Damian Brayn, baru saja mematikan saluran televisi dengan remote di tangannya. Dengan senyum merekah di wajahnya, ia menatap wanita muda yang duduk kini sedang duduk di sofa ruangan tersebut.

Jeanette Hautter, dokter muda yang baru saja menjadi sorotan dunia medis, hanya bisa tersenyum tipis. Perasaan lega sekaligus gugup bercampur aduk dalam dadanya. Ruangan itu terasa hangat dengan aroma kayu mahal dan hiasan lukisan klasik yang menghiasi dinding. Tapi bagi Jeanette, semua kemewahan itu tak mengurangi rasa tegang yang masih tersisa setelah operasi besar yang ia lakukan.

“Kau berhasil, Jeanette! Tidak sia-sia aku membimbingmu selama ini,” kata Damian sambil menyilangkan kaki, nada suaranya penuh kebanggaan.

“Terima kasih, Pak Brayn,” jawab Jeanette. Suaranya lembut, namun sarat dengan rasa syukur.

Damian tertawa kecil, lalu menggelengkan kepala seolah tak percaya. “Jeanette memang paling jenius. Kita harus merayakan pencapaian ini dengan mengadakan pesta besar. Sebelum itu…” Damian berdiri, berjalan ke lemari kaca di sudut ruangan, dan mengeluarkan sebotol wine merah mahal. “… mari kita bersulang!”

Jeanette ragu sejenak, tetapi akhirnya menerima gelas wine yang diberikan Damian. Tangannya sedikit bergetar.

“Tidak perlu menyanjung saya terlalu tinggi, Pak. Anak itu selamat juga berkat Anda. Rumah sakit milik Bapak ini yang telah merawat anak itu hingga sembuh secara cuma-cuma,” katanya tulus. Matanya menatap Damian dengan penuh hormat.

“Kau sangat rendah hati, Jeanette,” kata Damian sambil menuangkan wine ke gelasnya sendiri. “Pantas saja kau dijuluki Dokter Bedah Malaikat, sesuai nama rumah sakit milikku.”

Jeanette tersenyum kecil. Ia tahu julukan itu terlalu besar untuknya, bahkan terdengar berlebihan, tapi ia tak punya keberanian untuk menolaknya. Bagi orang lain, mungkin itu adalah pujian yang luar biasa, pantas diapresiasi. Namun, bagi Jeanette, itu adalah beban tanggung jawab yang semakin berat.

Kling! 

Suara gelas mereka saling bertemu, menggema lembut di ruangan itu. Cahaya lampu kristal di atas kepala mereka memantulkan kilauan pada cairan merah di dalam gelas.

Setelah menyesap wine-nya, Jeanette meletakkan gelas itu kembali ke meja. Pikiran-pikirannya mulai melayang. Operasi tadi pagi kembali terputar dalam benaknya, adegan demi adegan yang menguras adrenalin. Tetesan darah, bunyi monitor yang berdentang, dan ekspresi lega timnya saat operasi dinyatakan selesai. Semua itu masih terekam jelas, seakan baru saja terjadi beberapa menit lalu.

“Jeanette,” Damian memecah lamunannya. Suaranya terdengar lebih lembut, namun penuh keyakinan. “Dengan bakat yang kau miliki, kau bisa menjadi dokter terhebat di negara Morallo, bahkan di dunia. Apa yang kau lakukan hari ini tidak hanya menyelamatkan nyawa seorang anak, tapi juga mencetak sebuah sejarah baru. Dunia medis akan selangkah lebih maju mulai sekarang.”

Jeanette hanya tersenyum kaku. Matanya menatap ke arah wine di dalam gelas, pantulan lampu kristal membuat warna merahnya terlihat lebih tajam. Kata-kata Damian terasa begitu berat, seperti beban yang tiba-tiba ia pikul di pundaknya. Baginya, yang terpenting adalah pasien selamat—bukan pengakuan, bukan sorotan media, apalagi sanjungan dunia.

“Jeanette, izinkan aku bertanya satu hal,” Damian melanjutkan, kali ini dengan tatapan serius. Ia bersandar ke kursinya, menyatukan jemari di atas lutut. “Apakah kau pernah berpikir, apa yang membuatmu begitu gigih dalam dunia medis?”

Jeanette terdiam. Pertanyaan itu menghantamnya seperti palu yang memecahkan dinding kenangan lama. Ada sesuatu yang selama ini ia pendam rapat-rapat, sesuatu yang bahkan ia hindari untuk diakui. Tangannya sedikit gemetar saat ia meletakkan gelas wine di meja. 

“Saya rasa... mendiang kedua orang tua saya menyadari bahwa saya jenius sejak kecil. Mereka berdua memiliki keinginan untuk menjadikan saya seorang dokter,” katanya, menatap kosong ke arah meja. “Mereka ingin saya dapat menyembuhkan penyakit yang membuat para pasien menderita. Terutama penyakit yang tidak memiliki harapan hidup.”

“Menyembuhkan penyakit?” Damian tersenyum samar, lalu menyilangkan tangannya. “Jeanette, seorang dokter bukan hanya dituntut bisa menyembuhkan penyakit, tetapi juga harus memiliki ambisi yang lebih besar. Berpikirlah untuk dirimu agar jauh lebih hebat, bukan orang lain!” 

“Benarkah?” Jeanette tampak ragu.

“Iya. Dengan begitu, kau akan disanjung orang, menghasilkan banyak uang, dan menjadi tokoh terkenal. Seluruh dunia akan melihat betapa hebatnya malaikat yang bisa menyembuhkan penyakit pasiennya.”

Kata-kata Damian itu membangkitkan sesuatu dalam diri Jeanette. Ia menatap pria di hadapannya, mencoba memahami maksudnya. Apakah Damian ingin mendukungnya, atau mengatakan omong kosong belaka? 

Lihat selengkapnya