Pria paruh baya itu menatap Jeanette bingung. Pandangannya bolak-balik antara wanita muda itu dan Kaden, seolah berusaha mencari penjelasan masuk akal dari situasi aneh yang sedang berlangsung. Beberapa saat kemudian, ia memberanikan diri mendekati Jeanette. Suaranya begitu pelan ketika berbisik di telinganya, hampir tak terdengar.
“Nyonya, sebenarnya apa yang terjadi pada Tuan Kaden?”
Jeanette melirik sekilas ke arah Kaden yang tampak sibuk di sudut ruangan, berjongkok di depan koper hitamnya. Tangannya cekatan merapikan barang-barang di dalam koper itu. Jeanette menghela napas pendek sebelum berbisik, dengan suara yang nyaris seperti gumaman.
“Aku menyelamatkannya semalam saat dia sedang dalam kejaran polisi.”
Wajah pria itu berubah drastis. Dahinya berkerut, matanya membulat, dan rahangnya mengendur sedikit. Raut wajah terkejut jelas terlihat pada ekspresinya.
“Apa yang terjadi?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada lebih tertekan.
“Dia tertembak,” jawab Jeanette dengan tenang, meskipun suaranya sedikit bergetar. “Ia jatuh dari atap bangunan, dan tubuhnya menghantam tanah dengan keras. Aku yakin dia akan mati di sana.”
“A-apa?!” Pria itu tersentak, nyaris berteriak sebelum menutup mulutnya sendiri dengan kedua tangan. Kepanikannya menciptakan getaran di udara. “Tapi... tapi bagaimana mungkin Tuan Kaden masih hidup?”
Jeanette menatap pria itu dengan pandangan yang sulit diartikan. Bibirnya membentuk senyuman kecil, tetapi ada sesuatu yang dingin dan penuh rahasia di sana.
“Keajaiban,” jawabnya singkat.
Pria itu tampak semakin bingung, tapi sebelum sempat bertanya lebih jauh, suara langkah berat menghentikan mereka. Kaden berdiri dengan cepat, menutup koper. Tatapannya tajam ketika ia berjalan mendekat, setiap langkahnya penuh dengan kendali yang mengancam.
“Jeanette,” katanya dengan nada rendah, tetapi setiap kata terdengar seperti pukulan. “Sebenarnya siapa dirimu?”
Jeanette membeku. Pertanyaan itu memukulnya lebih keras daripada yang ia bayangkan. “Aku?” gumamnya, mencoba mengulur waktu.
Kaden semakin mendekat, membuat jarak di antara mereka hanya beberapa langkah. Tatapan matanya seperti pisau yang mencoba menusuk jauh ke dalam pikirannya. “Benda apa yang kau suntikkan padaku semalam?”
Ruangan kecil itu tiba-tiba terasa lebih sempit. Udara seakan membeku, membuat setiap orang di sana merasa tercekik. Jeanette melangkah mundur setengah langkah, mencoba menghindari intensitas tatapan Kaden.
“Aku...” katanya ragu-ragu, suaranya seperti patah-patah. Ia berusaha keras merangkai kata-kata yang tepat. “Aku hanya mencoba menyelamatkanmu.”
“Itu bukan jawaban.” Kaden memotongnya dengan nada lebih tajam. Wajahnya penuh dengan kemarahan yang tertahan. “Aku ingat semuanya, Jeanette. Semalam aku tertembak lalu jatuh dari atas bangunan yang seharusnya dapat membunuhku seketika itu juga. Tapi aku terbangun tanpa luka berat. Anehnya, tubuhku terasa jauh lebih kuat dari sebelumnya.”
Jeanette terdiam. Kata-kata Kaden mengiris rasa bersalah yang selama ini ia tekan. Bayangan semalam kembali memenuhi pikirannya seperti mimpi buruk. Ia mengingat bagaimana menemukan tubuh Kaden yang ambruk bersimbah darah, napasnya yang hampir habis, serta kepanikannya di situasi itu. Tangannya gemetar ketika ia mengeluarkan botol kecil berisi cairan dari dalam sakunya, merupakan satu-satunya cara yang terpikir olehnya saat itu.
“Jeanette!” Kaden membentak wanita itu di depan wajahnya.
Jeanette tertunduk takut dengannya. Namun, ia memberanikan diri untuk mengangkat kepala, menatap Kaden. Mata mereka bertemu, ia tahu kalau harus berhati-hati dengan jawabannya.
“Aku…” Jeanette mencoba berbicara, tetapi tenggorokannya terasa kering seperti pasir gurun.
Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. “Aku tidak bisa menjelaskannya di sini. Tempat ini tidak aman.” Suaranya gemetar, tetapi pandangan matanya tetap tegas.
Kaden mengerutkan kening, matanya yang tajam seperti elang menyelidik wajah Jeanette. Sekilas, keheningan menggantung di antara mereka, membuat ketegangan di ruangan itu semakin pekat. Jeanette merasa sorot mata Kaden seolah ingin menelanjangi pikirannya, mencari tahu kebenaran yang ia sembunyikan.
Terasa kesal menunggu jawaban dari Jeanette, Kaden memalingkan wajahnya ke pria paruh baya, orang yang ia minta datang kemari. “Gerald, kau ke sini dengan mobil, kan?”
Gerald, yang sedari tadi berdiri canggung dengan kedua tangan tergenggam, mengangguk cepat. “Iya, Tuan.”
Tanpa menunggu, Kaden kembali menatap Jeanette. Kali ini, ekspresi wajahnya berubah. Ketegasan yang dingin terpancar dari matanya, sekeras baja yang baru saja ditempa.
“Kalau tempat ini tidak aman untukmu, berarti juga tidak aman untukku,” katanya dengan nada tegas, hampir menantang. “Aku akan pulang ke mansion-ku. Jangan coba menghentikanku.”
Jeanette membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-katanya tertahan di ujung lidah. Sebelum ia sempat bicara, Kaden sudah bergerak. Tangannya yang kokoh menarik koper hitam dari samping kakinya, membukanya dengan gerakan cepat penuh amarah.