Immortal Serum

Zal zal
Chapter #1

Chapter 1 | Pria yang Sekarat

Tahun 2036, di daerah pinggiran Lauxzambreg, ibu kota negara Morallo. 

Suara hujan deras dan gemuruh petir terdengar bersahutan di sepanjang gang kecil itu. Meskipun begitu, di balik hujan yang semakin deras mengucur, langkah seorang wanita terdengar samar, hampir tertelan oleh hujan yang makin tidak terkendali. Payung hitam di tangannya berdansa di atas rintik hujan yang semakin deras dan angin yang semakin kencang. 

Trotoar yang licin menjadi perangkap yang memaksa kakinya bergerak lebih hati-hati, rasa gelisah terus menjadi pendorong untuk berlari lebih cepat. Wajahnya yang teduh dilindungi oleh tudung mantel dan matanya tetap menatap lurus ke depan, mencoba menembus hujan yang menutupi pandangan.

“Ayo, hampir sampai,” bisiknya pada diri sendiri, meski suara itu nyaris tenggelam oleh derasnya air yang menghantam tanah.

Jeanette adalah wanita dengan paras berusia dua puluh tahunan, auranya selalu memancarkan kewibawaan. Tetapi pada malam ini, aura itu retak. Caranya melangkah yang tergesa-gesa melambangkan rasa takut dan ancaman yang melanda.

Tiba-tiba, sebuah suara memecah gendang telinga wanita itu.

Dor!

Suara tembakan di malam hari, entah dari mana asalnya. Jeanette berhenti seketika, tubuhnya membeku di bawah guyuran hujan. Jantungnya berdegup kencang, begitu keras hingga ia bisa merasakannya di tenggorokan.

Refleks, tangannya terangkat, menutupi telinganya. Payung hitam di genggamannya sedikit miring, membuat hujan deras membasahi bahunya. Suara itu tidak hanya keras, tapi juga nyata di telinganya. Begitu nyata hingga Jeanette sadar suara itu berasal dari jarak yang tak jauh darinya.

Bruk!

Terdengar suara lain, seperti sesuatu yang berat menghantam tanah. Mata Jeanette bergerak liar, mencoba mencari sumber suara. Di ujung jalan, tak jauh dari tumpukan barang bekas yang terbengkalai, ia melihat sesuatu, barang yang jatuh dari salah satu atap rumah susun. Jeanette berdiri terpaku, itu bukanlah barang, melainkan seorang manusia. 

Sebuah bayangan terjatuh, tubuhnya limbung sebelum akhirnya tergeletak di atas tumpukan kayu tua yang lapuk. Jeanette tertegun. Kakinya terasa berat seperti dipaku ke tanah, tetapi rasa penasaran memaksa tubuhnya untuk bergerak mendekat. Dengan payung yang kini tergenggam erat seolah itu senjata, ia melangkah mendekati sosok tersebut.

“Halo?” panggilnya dengan suara bergetar, meski ia tahu tidak akan ada jawaban.

Sosok itu semakin jelas di bawah cahaya redup lampu jalan. Seorang pria muda tergeletak di sana, tubuhnya kaku di tengah hujan yang semakin deras. Hujan mencuci darah yang mengalir dari perutnya, tapi genangan merah pekat tetap terlihat jelas, bercampur dengan air yang mengalir di trotoar.

Jeanette menatap pria itu dengan mata membelalak. Ia berusaha mengatur napas, tapi paru-parunya terasa berat, seolah udara malam menolak masuk.

“Ya Tuhan...” bisiknya.

Pria itu, meski terbaring dalam genangan darah, masih hidup. Napasnya tersengal-sengal, dan matanya yang setengah terbuka menatap kosong ke arah langit. Jeanette mendekat, lututnya gemetar saat ia berjongkok di samping tubuh pria itu.

“H-hei, kau dengar aku? Apa kau masih hidup?” tanyanya, mencoba menyentuh bahu pria itu. 

Pria itu dengan susah payah menggerakkan bibirnya, mencoba mengatakan sesuatu. Jeanette mendekatkan wajahnya, berharap menangkap apa yang akan diucapkannya.

“Dia masih bernapas.”

Tangannya ragu-ragu, tapi Jeanette tidak bisa tinggal diam. Ia mendekat ke pria yang sedang sekarat itu. Dengan perlahan, ia meletakkan payungnya di atas trotoar. Kedua tangannya menyentuh luka di dada pria itu, lalu menekannya untuk menghentikan pendarahan.

Drap, drap, drap.

Langkah kaki terdengar semakin mendekat. 

“Ayo, cepat cari! Tadi dia jatuh di sekitar sini!” 

Jeanette membeku. Suara itu datang dari sekelompok pria berseragam polisi yang membawa senter besar, menyapu area sekitar dengan tatapan tajam dan langkah tergesa. Cahaya senter mereka menari-nari di sepanjang dinding dan trotoar, seolah sedang memburu sesuatu. 

“Oh, tidak! Itu polisi kota!” ia mulai panik oleh keadaan.

Jantung Jeanette berpacu semakin cepat. Ia menunduk, menatap tubuh pria yang masih tak sadar di depannya. Air hujan terus membasahi wajah dan tubuh pria itu, membuat darah yang mengalir bercampur dengan genangan air di bawahnya. Napasnya kini hanya terdengar sebagai gumaman samar.

Tatapannya jatuh pada selembar kain lusuh yang tergeletak tak jauh dari tumpukan kayu. Dengan gerakan cepat, Jeanette meraihnya dan menutupi tubuh pria tersebut hingga tampak menyatu dengan rongsokan di sekitarnya. 

Hatinya berdebar kencang saat langkah kaki polisi semakin dekat, bercampur dengan suara mereka yang memecah malam.

“Cek di sekitar tumpukan itu!” 

Jeanette mengatur napas, mencoba menenangkan dirinya meski tubuhnya kaku oleh rasa takut. Ia tahu jika mereka menemukannya di sini bersama tubuh pria ini, mereka pasti akan menginterogasinya lebih dalam. 

Dengan perlahan, ia mengambil langkah untuk pergi. Tetap berhati-hati agar langkah kaki dan gerakannya tidak terdengar mencurigakan. Belum sampai beberapa saat melangkah, dari arah belakang sebuah suara menghentikannya.

“Nona, berhenti di sana!”

Lihat selengkapnya