Immortal Serum

Zal zal
Chapter #2

Chapter 2 | Kaden

“IMT? Apa maksudmu?” Pria itu mengernyitkan dahi, jelas terlihat bingung dengan apa yang baru saja menimpanya.

Ia merasakan sesuatu yang aneh dalam tubuhnya, seolah-olah ada perubahan yang terjadi dari dalam. Dengan tatapan tajam, matanya tertuju pada Jeanette.

“Iya, IMT 2000X. Serum ciptaanku yang telah mengubah dirimu,” jawab Jeanette dengan tenang, meskipun bagi pria itu, kalimat tersebut sangat sulit dicerna.

Pria tinggi besar itu semakin kebingungan mendengar penjelasan Jeanette yang terasa tak masuk akal. Tubuhnya memang terasa semakin kuat, namun beratnya kelelahan masih menekan setiap gerakannya.

Ada sesuatu yang mengalir dalam tubuhnya, sebuah sensasi aneh yang membuat rasa sakitnya tak kunjung mereda. Apakah semua ini disebabkan oleh serum yang kini menguasai aliran darahnya?

“Tubuhmu masih dalam kondisi pemulihan setelah menyerap serum IMT 2000X. Kau sedang berada di titik terlemah,” ujar Jeanette, berjalan menuju meja yang terletak di sudut ruangan.

Ia mengambil segelas air dari bejana yang tampaknya sudah ada sejak tadi. Lalu Jeanette kembali mendekat kepada pria itu, memberikannya segelas air dengan lembut. Pria itu meneguk air yang diberikan Jeanette. Air itu terasa seperti sekadar penawar sementara bagi tubuhnya yang kelelahan.

“Apa kau tidak penasaran kenapa aku memberikan benda berharga itu kepadamu?” Jeanette bertanya, menatap pria itu dengan mata yang tajam.

“Aku tidak peduli,” jawabnya singkat.

Ia mulai mengedarkan pandangannya, matanya tajam menyapu setiap sudut ruangan. Ada sesuatu yang sangat janggal, tidak ada pintu maupun jalan keluar.

“Kau bilang ini apartemenmu?” tanyanya dengan nada curiga. “Tapi tidak ada jalan masuk dan keluar dari sini.”

Jeanette tersenyum tipis, tampaknya sudah memprediksi pertanyaan itu. “Ada. Lewat atas sana,” katanya sambil mendekati dinding beton yang terlihat kokoh, seperti ada rahasia di baliknya.

Ia menekan tombol tersembunyi di dinding tersebut dan seketika itu juga tangga muncul dari atas, menuruni langit-langit. Mata pria itu terbelalak, terkejut sekaligus tidak menyangka ada mekanisme unik di tempat yang sempit dan suram ini.

Tanpa berpikir panjang, pria itu melesat menaiki tangga dengan kecepatan luar biasa, hanya satu hal yang memenuhi pikirannya: keluar.

Sesampainya di atas, ia menemukan dirinya berada di sebuah ruangan yang tampak seperti apartemen biasa. Tidak seperti ruang bawah tanah yang suram dan menekan, ruang tamu apartemen ini terlihat lebih terang, lebih luas, dan terasa lebih hidup.

Dengan langkah tergesa, ia menuju pintu depan apartemen. Rasa sakit yang terus menghantui tubuhnya seperti mendesaknya untuk segera pergi dari tempat itu.

“Hei, tunggu sebentar! Apa kau ingin mati?” seru Jeanette, menyusul pria itu ke atas.

Tanpa ragu, tangan pria itu meraih gagang pintu dan membukanya. Pintu itu terlihat sederhana, tapi jelas sekali terlihat lorong apartemen di baliknya.

Pria itu berhenti sejenak, menoleh dengan tajam. “Apa maksudmu? Aku tidak akan mati semudah itu di luar sana!” jawabnya, sedikit menantang.

“Tapi kau masih belum pulih sepenuhnya.”

“Tidak mengapa. Aku merasa jauh lebih kuat,” jawab pria itu dengan yakin, ia lalu melangkah keluar tanpa ragu.

Jeanette mengikuti langkahnya, menggenggam lengan pria itu dengan kuat yang sudah berada di ambang pintu. “Jangan pergi, efek serum di tubuhmu tidak akan bertahan lama.”

Seketika, pria itu menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Jeanette. Hening sejenak menyelimuti ruangan, sampai akhirnya ia memutuskan untuk memberikan Jeanette kesempatan menjelaskan dengan lebih rinci.

“Menurutmu aku akan mati setelah keluar dari sini?” tanyanya tanpa emosi.

“Iya, kalau itu maumu,” jawab Jeanette, justru mempersilakan pria itu untuk pergi jika ia menginginkannya.

Pria itu berdiri mematung, pikirannya masih dilanda kebingungan. Ia terdiam di depan pintu yang terbuka lebar, menatap Jeanette dengan ragu. Ia ragu, apakah yang dikatakan wanita itu benar adanya? Apakah ia akan mati jika keluar dari sana?

“Apa kau tidak jadi pergi?” tanya Jeanette, menunggu reaksi pria itu.

Pria itu mendengus kesal, sembari mengernyitkan dahinya. “Aku telah berhutang nyawa kepadamu.”

Jeanette tersenyum, senyum yang tipis namun mengandung rasa puas. “Baguslah... aku senang mendengarnya,” ujarnya. “Tapi serum itu tidak bekerja selamanya. Kau harus istirahat kembali.”

Mendengar jawaban itu, Jeanette melangkah masuk kembali ke apartemennya lalu berjalan ke sebuah kamar. Pria itu mengikuti dari belakang, masih dengan kebingungannya yang belum terjawab. Jeanette menyalakan lampu di dalam kamar itu.

“Kau boleh tidur di kamar ini. Beristirahatlah sampai aku menyuntikkan serum itu lagi nanti malam,” ucap Jeanette tegas sambil melangkah mundur, memberi pria itu ruang untuk memutuskan apakah ia ingin duduk atau mencoba beristirahat.

Lihat selengkapnya