Hujan masih turun deras. Belum ada tanda-tanda reda. Gemercik air yang jatuh dari talang depan rumah terdengar jelas hingga kamar utama yang terletak di ruang paling depan. Detak jarum jam yang biasanya terdengar di kesunyian sepertiga malam, kali ini kalah dengan suaranya. Kamar terasa makin dingin meski AC sudah dimatikan saat hujan mulai turun sejak bakda isya. Suasana hening ditambah rintik hujan yang turun bak memainkan melodi alam, terasa begitu menenangkan. Suasana yang tepat untuk membuat tidur semakin lelap. Namun, tidak bagi sosok lelaki yang tengah duduk bersila di atas sajadah marunnya.
Di pojok kamar dekat jendela, lelaki berumur lebih dari setengah abad itu baru saja menyudahi ibadahnya. Ibadah yang begitu istimewa. Sebab saat itu Allah Tabaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia untuk mengabulkan hajat setiap hamba. Delapan rakaat yang diakhiri witir itu sudah hampir setahun ini dia dawam-kan. Tepatnya sejak Ramadan tahun lalu. Tahun di mana masalah hidupnya begitu menyesakkan dada.
Hujan terdengar mulai reda. Lelaki dengan rambut penuh uban itu masih menadahkan tangannya setinggi dada. Bibirnya merapal doa-doa. Wajahnya menunduk seraya melihat kedua tangannya dengan garis-garis yang mulai keriput. Lelaki berperawakan tinggi berkulit sawo matang dengan lesung pipi itu masih khusyu. Pak Jati, begitu biasanya para tetangga memanggilnya.
Prang
Suara sepeti pecahan kaca dari arah dapur membuyarkan doa. Pak Jati mendongakkan wajahnya. Kedua tangannya ia turunkan di kedua lutut. Dilirik jam di dinding yang tergantung tepat di atas tempat tidur. Jarum jam menunjukkan pukul empat pagi. Pak Jati melipat sajadah. Ia ingin memastikan suara yang baru saja didengar. Sementara Widuri, sang istri, masih terlelap. Padahal Pak Jati sudah mengajak untuk salat malam bersamanya.
Perlahan ia membuka pintu kamar lalu berjalan menuju tempat suara. Suasana rumah temaram. Beberapa lampu sengaja dimatikan. Termasuk ruang dapur. Namun, kali ini ia melihat lampu di ruangan menyala. Penasaran, Pak Jati segera mempercepat langkahnya. Ia ingin segera memastikan suara yang tadi terdengar. Beberapa meter sebelum Pak Jati sampai di dapur, dia melihat ada sesosok bayangan di sana. Seperti orang yang sedang berjongkok sambil memunguti sesuatu di lantai.
Suara langkah Pak Jati membuat bayangan yang tadi sedang bergerak mendadak terdiam. Pak Jati tiba di pintu dapur. Mata Pak Jati tertuju pada sosok yang tengah berjongkok. Empat mata bersitatap antara Pak Jati dan sosok yang tengah gugup di hadapannya.
“Tian?” ucap Pak Jati melihat bocah yang tahun ini baru saja duduk di kelas IX SMP.