Pak Jati hanya bisa tersenyum saat mendengar pengakuan Tian. Bukan karena kejujuran permintaan maafnya. Namun, sebuah jawaban yang menunjukkan keikhlasan dan keimanan sebagai hamba Tuhan. Pak Jati begitu senang saat mendengar jawaban dari sang cucu saat ditanya apa yang sedang diperbuatnya di dapur saat masih pagi buta.
“Tian habis sahur, Kek. Ini kan hari Senin,” ucap Tian dengan raut wajah sedih dan tampak bersalah karena telah memecahkan gelas yang tadi dipakainya, “Tian cuma ingin ngamalin apa yang dibilang kata Pak ustadz di ceramah Jumat kemarin, Kek.”
Pak Jati tersenyum. Ingatannya kembali ke beberapa waktu ke belakang. Saat dia dan Tian melaksanakan salat Jumat berjamaah di masjid dekat rumah. Pak Jati masih ingat saat Sang Khatib menjelaskan betapa baiknya menjalankan sunnah Sang Nabi. Salah satu diantara sekian banyak amalan sunnah itu adalah berpuasa. Puasa Senin dan Kamis salah satu di antara puasa-puasa sunnah yang pernah Nabi saw. ajarkan kepada umatnya.
“Berbagai amalan dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika amalanku dihadapkan sedangkan aku sedang berpuasa,” ucap Sang Khatib waktu itu sambil mengutip hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi.
Tian dan Pak Jati seolah berlomba mengumpulkan pecahan beling yang berserakan di lantai. Mereka tak ingin Widuri tahu. Bahaya. Bisa-bisa Tian akan kena marah Sang Nenek seharian. Tambah lagi biasanya Tian akan dibebani pekerjaan rumah tambahan. Menyapu rumah, mencuci piring, menyeterika. Sementara Sang Nenek dan Farah, anak perempuannya, hanya duduk berleha-leha melihat Tian kelelahan.
“Tiaaaaannnn ….”
Lengkingan suara Widur menggema seisi rumah. Suara Widuri tembus hingga dinding kamar Farah yang bersebelahan dengan dapur. Keributan di pagi itu mengganggu Farah yang tengah nyenyak tertidur. Farah terbangun. Dilihatnya jam di dinding masih pukul empat pagi lebih lima menit.
“Aaarrrggh … berisiiikkkk …,” teriak Farah kesal dari dalam kamarnya lalu ia menutup telinganya dengan bantal dan melanjutkan tidurnya.
***
Pak Jati sudah menduga bahwa sang istri akan marah. Terlebih ada Tian. Biasanya tanpa banyak tanya, widuri langsung menuduh Tian sebagai pelakunya. Tanpa klarifikasi lebih dahulu. Di matanya, Tian selalu salah. Apapun yang dilakukan Tian tak pernah sedikit pun membuat puas hatinya. Selalu saja ada hal yang tak berkenan di hatinya. Sementara Tian selalu berusaha menuruti segala ucapan Sang Nenek dan mengerjakan semua perintah dengan sabaik-baiknya. Namun, sebagus apapun pekerjaan yang Tian lakukan, selama ada dengki di hati Widuri, maka tak ada sedikit pun terlihat kebaikan di matanya.
“Pasti kamu kan pelakunya?” ketus Widuri sambil melotot ke arah Tian.
Tian menunduk. Tangannya gemetar. Pak Jati menatap wajah Tian yang terlihat ketakutan.
“Pelan-pelan, Bu,” ucap Pak Jati setengah berbisik, “Malu terdengar tetangga. Enggak enak tetangga masih pada tidur.”
Wajah Widuri bak kepiting rebus. Sudah biasa, dia selalu meledak-ledak ketika melihat cucu laki-lakinya itu berbuat salah. Jangankan perkara gelas pecah, bahkan hal-hal sepele pun bisa membuatnya begitu marah.
“Ma-maaf, Nek, Tian tak sengaja,” ucap Tian ketakutan.
“Maaf? Enak saja. Memangnya ‘maaf’ bisa bikin gelas itu utuh lagi? Memangnya ‘maaf’ bisa buat beli gelas yang baru?”
Tian masih tertunduk. Pak Jati bangkit sambil membawa pecahan beling lalu membuangnya di tempat sampah.