“Jangan-jangan, kamu memang sengaja mecahin gelas supaya saya kena pecahannya. Iya kan?”
“Astagfirullahalazim, sumpah enggak kok kak,” jawab Tian dengan wajah tulus.
Melihat kejadian menegangkan di pagi buta itu, Pak Jati mencoba meleraikannya. Pak Jati mendekat ke arah Farah. Lalu mendudukkannya di bangku. Sementara mata Bu Widuri terus menyorot tajam ke arah Tian sambil menggigit kuat gerahamnya. Tian bergeming dan hanya bisa diam tertunduk. Bu Widuri ikut-ikutan menyalahkan Tian karena tak bersih membereskan pecahan kaca.
“Bukan salah Tian. Salah Bapak. Tadi Bapak yang membersihkan pecahan belingnya,” ucap Pak Jati sambil memeriksa telapak kaki Farah.
“Aahh … lagi-lagi Bapak, selaluuuuu bela Tian,” ketus Widuri.
“Aaawww …,” teriak Farah saat Pak Jati mencabut beling yang tertancap di telapak kaki Farah.
Pak Jati langsung membuang beling dengan panjang satu sentimeter itu ke tempat sampah.
“Tian, kamu siap-siap ya, sebentar lagi shubuh,” ucap Pak Jati.
“I-iya Kek.”
Tian menuju kamar mandi untuk berwudhu. Mata Bu Widuri terus membuntuti Tian hingga pintu kamar mandir tertutup. Pak Jati memapah Farah menuju kamar. Bu Widuri mengambil obat merah dan plester dari kotak P3K yang dipasang di dinding sebelah kulkas.
***
Langit pagi tampak cerah. Udara begitu segar. Aspal yang basah dan genangan air di beberapa titik seolah ingin menujukkan diri bahwa begitu derasnya hujan tadi malam. Usai salat subuh di masjid bersama Tian tadi, Pak Jati kembali memastikan kondisi kaki Farah. Tadinya Farah enggan berangkat ke sekolah karena alasan luka di kakinya. Namun, setelah Pak Jati memeriksanya, ternyata hanya goresan kecil saja. Darahnya pun sudah berhenti mengalir. Farah pun masih mampu berjalan.
Pukul enam pagi Tian sudah rapi dengan seragam putih birunya. Dia duduk di ruang tamu, menunggu Farah yang masih belum juga keluar dari kamarnya. Sambil menunggu, Tian membuka kembali buku pelajarannya kemudian membacanya. Belum tuntas satu halaman dibaca, pintu kamar Farah terbuka. Tian mengarahkan pandangannya ke sana. Terlihat Farah keluar dari kamar dengan jalannya yang agak pincang. Di belakang Farah, tampak Pak Jati yang tersenyum melihat putrinya itu akhirnya mau juga berangkat sekolah.
“Masih sakit ya Kak?” tanya Tian.
“Ah … enggak usah sok basa-basi deh lo. BASI tahu?” ketus Farah.
“Sudah-sudah kok malah jadi berantem? Ayo kalian berangkat ke sekolah, nanti telat,” ucap Pak Jati lalu meraih tangan Farah dan menuntunnya berjalan hingga ke teras rumah.
Tian beranjak dari duduknya dan munyusul Farah.
“Nanti hati-hati jalannya ya,” pesan Pak Jati kepada Farah.
“Gara-gara kamu nih, jalanku jadi pincang begini,” ketus Farah sambil melotot ke arah Tian yang ada di sebelahnya.
“Sudah-sudah … ini adalah kecelakaan kecil. Jangan dibesar-besarkan,” ucap Pak Jati menenangkan Farah.
Setelah berpamitan dan mencium tangan Pak Jati, Farah dan Tian akhirnya berangkat ke sekolah. Pak Jati melihat keduanya dari teras. Setelah agak jauh dan hilang tepat di belokan menuju jalan utama Pak Jati masuk ke rumah. Bu Widuri keluar dari kamar hendak berjalan ke dapur. Pak Jati memanggilnya. Bu Widuri menghentikan langkahnya.