Semburat merah mengintip malu-malu di ufuk timur untuk menggantikan Sang rembulan. Sinar indahnya menerobos rumah sederhana milik Pak Jati, memberikan kehangatan pada jiwa yang sedang gundah. Selang beberapa menit setelah percakapan dengan istrinya, Pak Jati segera bersiap diri untuk berangkat kerja. Pak Jati tinggal mengganti bajunya, sebab sebelum shubuh tadi dia sudah mandi. Cekcok di pagi hari itu membuat mood memasak Widuri buyar. Dia urung ke dapur dan malah duduk santai di ruang tamu. Dia lupa mesti menyiapkan sarapan untuk suaminya. Setidaknya menyiapkan secangkir teh hangat untuk sang suami sebelum berangkat kerja.
Tiba-tiba terdengar pintu rumah diketuk. Sejenak Bu Widuri melihat jam dinding. Jarum jam menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh menit. Rasa heran menyambangi hatinya.
“Siapa yang bertamu pagi-pagi begini?” tanya Widuri dalam hati.
Widuri bangkit dari duduknya menuju pintu lalu membukanya perlahan. Keningnya berkerut seraya bertanya-tanya, siapa sosok yang ada di balik pintu. Betapa kagetnya Widuri melihat sosok di hadapannya saat pintu terbuka sempurna. Jantungnya berdegup kencang ketika tampak sesosok lelaki berdiri tepat di depan matanya. Sosok lelaki yang sudah tidak asing lagi baginya. Lelaki bertubuh atletis dengan wajah tampan yang dulu selalu rapi bergaya necis, kini terlihat lusuh.
Lelaki itu adalah Khalil Zayan, putra di keluarga ini. Tatapan mata lelaki yang akrab disapa Zay itu tampak kosong. Kalaupun menatap tajam, maka tersirat begitu banyak derita di sana. Kali ini dia datang tidak sendiri. Seorang bocah kecil yang cantik turut serta bersamanya.
“Mengapa Zay bawa anak dan koper segala? Apa mungkin dia minggat atau bertengkar dengan istrinya?” bisik Widuri dalam hati.
Zay meletakkan koper yang dibawa di tangan kirinya. Sementara putri kecilnya itu tak mau turun dari pelukan ayahnya. Malah pegangannya makin erat saat Widuri menatap tajam ke arah mereka. Sorot mata tajam Widuri seolah menyelidik. Tatapannya sinis.
Sementara Zay hanya bisa tersenyum kecut menanggapi tatapan mata sang ibu yang menghujam relung hatinya. Api amarah yang pernah tercipta antara anak dan ibu beberapa tahun silam itu masih belum reda. Kesalahan yang pernah dibuat Zay kepada Widuri, masih menyimpan luka. Kini, saat Zay kembali ke rumah setelah sekian lama tanpa berita, seolah mengorek kembali luka lama. Menyulut kembali amarahnya. Wanita itu tak sanggup menolak gejolak hatinya yang seakan menabuh genderang perang.
Zay menggamit tangan sang ibu lalu menciumnya.
“Safiya cantik, Mamanya mana?” tanya Bu Widuri.
Safiya ketakutan dan makin memegang erat lengan ayahnya. Zay mencoba meredam gelombang emosi tiada bertepi dengan kemurnian suara hati yang suci. Ia menenangkan putrinya kemudian meminta Safiya sungkem pada neneknya.
“Ayo sayang cium tangan Nenek!” pinta Zay.
Safiya dengan ragu mencium takzim punggung tangan wanita paruh baya itu. Sementara itu Bu Widuri tanpa ekspresi menerima uluran tangan bocah berusia dua tahun dengan rambut hitam dikepang dua.
Kehadiran Zay pagi itu bersamaan dengan ibu-ibu yang sedang berbelanja di tukang sayur yang biasa mangkal di depan rumah Pak Jati. Sontak saja melihat pemandangan pagi itu di teras rumah Pak Jati menjadi bahan bisik-bisik dan pergunjingan tetangga.
“Karma akan menimpa anak durhaka. Lihat penampilan Zay sekarang,” ucap seorang ibu berdaster merah jambu, “mengenaskan, lusuh, dan tidak terawat ya?”