Pak Jati menyimak cerita Zay. Dia turut prihatin dengan apa yang dirasakan anak lelakinya. Pak Jati berpindah duduk. Kini tepat di sebelah Zay. Pak Jati mengusap lembut kepala anaknya lalu menepuk bahunya sebelah kanan.
“Sabar,” ucap Pak Jati tulus lalu memandang iba ke arah cucu perempuan yang berada di pangkuan Zay.
“Anak cantik sudah makan belum,” ucap Pak Jati sambil membelai rambut ikal Safiya.
Safiya memandang kakeknya. Wajah poloh sang bocah serta senyum manis yang disunggingkannya membuat mata Pak Jati berkaca-kaca. Tanda bahagia. Senyum tulus dan indah itu sanggup meneduhkan hati siapa saja yang melihatnya.
“Zay juga dipecat, Pak.”
Pak Jati terkejut mendengar cerita Zay. Ditatapnya Zay yang setengah menunduk dengan suara yang ditahan agar tak meluap kesedihannya.
“Beberapa bulan ini Zay sudah mencari lowongan pekerjaan ke sana-kemari. Mungkin belum rezeki, jadi sampai saat ini belum ada panggilan.”
Zay tampak putus asa. Matanya mulai memerah dan berkaca-kaca menahan duka nestapa.
“Kemarin Zay diusir dari kontrakan karena tidak sanggup membayar. Sudah menunggak beberapa bulan. Cobaan datang bertubi-tubi buat Zay,” keluhnya.
“Sabar Zay. Ini mungkin salah satu cara Allah mengujimu agar kembali ke pelukan-Nya. Allah rindu doa-doa yang kau langitkan dalam sujud-sujud panjangmu,” ucap Pak Jati bijak sambil menepuk pundak Zay.
“Allah tidak akan menguji di luar kemampuan hamba-Nya.Yakinlah ujian ini untuk membuatmu naik kelas dan akan ada banyak kebahagiaan menghampirimu jika kau ikhlas menerima cobaan ini,” ujar Pak Jati.
Zay menatap bapaknya penuh arti dengan senyum yang dipaksakan tersungging. Bu Widuri yang sedari tadi mendengarkan perbincangan kedua lelaki itu dari dalam kamar mengeluarkan celetukannya.
“Siapa yang menanam, dia yang menuai.”
Pintu kamar terbuka. Widuri berdiri di depan kamar dengan ekspresi wajah yang sulit untuk diartikan.
“Ketika susah baru pulang. Dasar anak enggak tahu diri. Enggak punya malu. Kenapa enggak minta bantuan saudara dari wanita yang kau puja itu?” ucap Bu Widuri sinis, “Bagaimana rasanya hidup susah? Enak kan?”
***
Pak Jati menatap tajam ke arah istrinya itu dengan penuh amarah.
“Bu, sadarlah yang kau maki itu anakmu sendiri. Perkataan seorang ibu adalah doa. Diamlah kalau tidak bisa berkata yang baik!” ujar Pak Jati dengan nada tinggi.
Bu Widuri melengos lalu masuk ke kamar. Pak Jati menatap tajam ke arah tempat tadi istrinya berdiri sambil beristighfar untuk meredam marah yang sudah memuncak sampai di ubun-ubun. Pak Jati mengelus dadanya sambil terus mengucap tasbih, tahmid, dan takbir untuk mengalirkan energi positif pada jiwanya yang sesaat terbakar emosi.