Di ujung gang menuju jalan utama Farah berjalan dengan kaki yang tertatih karena tragedi kecil yang menimpanya subuh tadi. Sebenarnya hanya luka kecil di kaki. Akan tetapi Farah menjadikannya sebuah drama yang berlebihan. Sebabnya tidak lain karena rasa tidak suka yang bersemayam di hatinya terhadap Tian. Semenjak kehadiran Tian di keluarganya, Farah menganggapnya sebagai pembawa sial.
Tian mencoba mensejajari langkah Farah. Namun, dengan ketus Farah melarangnya mendekat karena khawatir terkena sial. Tian hanya sanggup menelan mentah-mentah kegetiran kata-kata yang terucap dari mulut Farah. Dia pun tetap memamerkan senyum termanisnya.
“Tian minta maaf atas kejadian shubuh tadi. Tian enggak sengaja, Kak. Maafin Tian,” pinta Tian dengan mengangkat tangan di dada sebagai tanda permintaan maaf tulusnya.
“Enak saja, suma dengan meminta maaf begitu saja? No, enggak cukup cuma dengan kata itu. Luka ini enggak sebanding dengan kata-kata maafmu,” bentak Farah sambil melangkah cepat meninggalkan Tian yang menatapnya penuh pengharapan.
“Hati-hati Kak, kakinya masih sakit! Nanti berdarah lagi,” ucap Tian penuh rasa khawatir yang tulus.
“Ini akibat ulahmu, jadi aku yang kena sial.”
“Maafin Tian, Kak.”
Tian mempercepat langkahnya. Dia berusaha mengejar Farah. Tian berusaha menjaga Farah. Bagaimanapun Farah adalah tantenya. Sebagai keponakan laki-laki, Dia merasa punya kewajiban menjaga dan melindungi. Bagi Tian hubungan darah melebihi segalanya. Dia akan mempertaruhkan nyawanya sekalipun demi menjaga keselamatan keluarganya.
Farah yang berjalan sedikit pincang makin mempercepat langkahnya. Seakan-akan dia tidak mau lagi berdekatan dan meninggalkan Tian di belakang.
Tian melangkah tertatih. Dia kesuliatn mengejar Farah karena kekurangan yang dideritanya. Napasnya terengah-engah tetapi semangat juangnya membara. Keringat membasahi sekujur tubuh kurusnya. Dengan telapak tangan ia lap keringat yang mulai menetes di dahinya.
Tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan Tian. Bola mata Tian membulat tak percaya, kaget, dan terkejut ketika melihat Syifa teman sekelasnya membuka pintu mobil lalu turun. Sesosok gadis tinggi semampai itu memamerkan senyum indahnya. Aura kecantikannya terpancar nyata membuat siapa saja akan terpana.
“Tian, ayo naik! Ikut kami,” ajak Syifa dengan ramah.
Sejenak mata mereka beradu pandang, ada ketulusan di mata gadis itu.
“Terima kasih banyak Syifa. Maaf, kamu duluan saja karena aku bersama Kak Farah. Dia sedang sakit kakinya,” ucap Tian sambil menunjuk ke arah Farah yang sudah jauh di depan.
“Ayolah naik, nanti kita ajak Kak Farah sekalian,” pinta tulus Syifa sambil membukakan pintu belakang untuk mempersilahkan Tian masuk.
Dengan ragu dan rasa canggung yang menggelayut di hati, Tian akhirnya setuju dan masuk ke mobil.
“Permisi Om, maaf merepotkan,” ucap Tian dengan sopan sambil mengangguk hormat.
Pria paruh baya itu mengangguk dan tersenyum ramah.
“Silahkan Nak, sama sekali enggak merepotkan. Kan satu sekolah,” ujar ayah Syifa sambil melajukan mobil perlahan.