Selepas lampu merah tadi Tian terus menatap jalanan di hadapannya dengan sejuta rasa berkecamuk di dada. Rasa tidak nyaman dan canggung makin menguar dan menjalar ke masing-masing hati mereka. Mobil membelah jalanan menuju sekolah Farah. Para penumpang sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesampai di sekolah Farah, mobil berhenti tepat di depan pintu gerbang. Farah mengucapkan terima kasih dan segera turun.
“Hati-hati dan jaga diri baik-baik, Kak!” ucap Tian.
Tanpa menoleh ke arah sumber suara, Farah melenggang masuk dengan kakinya yang pincang.
Usai mengantar Farah ke sekolah, Pak Lukman, Ayah Syifa melajukan mobilnya menuju sekolah Tian dan Syifa. Ucapan Farah yang tanpa tedeng aling-aling, sesaat sebelum gadis remaja SMA itu turun dari mobil membuat situasi tampak canggung. Tian hanya menunduk. Benaknya sangat terusik dengan ucapan yang terlontar dari bibir saudaranya tadi. Sulit rasanya menggambarkan perasaan Tian saat ini. Sedih, marah, dan kecewa bercampur menjadi satu di hati.
Untuk beberapa saat, keheningan tercipta di antara mereka. Ketiganya larut dalam jalan pikiran masing-masing. Belum ada yang berinisiatif membuka percakapan untuk memecah kecanggungan. Sesekali, ekor mata Tian melirik ke arah Pak Lukman. Pria paruh baya itu terlihat fokus menyetir. Seluruh perhatiannya tertuju ke jalanan yang semakin padat. Bunyi klakson dan riuhnya deru kendaraan menjadi pemecah kesunyian di dalam mobil itu. Kemudian, Tian mengalihkan ekor matanya ke arah Syifa. Gadis itu tampak sibuk dengan gawainya. Sementara pikiran Tian sendiri, masih mengembara, memikirkan cara untuk mengusir kecanggungan. Namun, lidah Tian masih terasa kelu untuk berkata-kata.
Tian masih bergeming. Tian kalah oleh rasa malu terhadap Pak Lukman juga Syifa yang tiba-tiba saja menyergap. Apa yang terlintas di benak mereka usai mendengar ucapan Farah tadi? Apa Pak Lukman akan melarang Syifa berteman lagi dengannya? Pertanyaan itu terus saja berkelindan di benak Tian.
“Tian, tadi Oom perhatikan, Farah berjalan agak pincang. Kakinya kenapa memangnya?” tanya Pak Lukman hati-hati.
Tian menghela napas lega mendengar lelaki paruh baya itu membuka suara. Kekhawatiran akan sikap Pak Lukman yang tadi sempat muncul, mendadak sirna. Sebelum mulai menjawab, Tian berdeham sebentar.
“A-anu, Oom. Kaki Kak Farah terkena pecahan kaca di dapur tadi pagi.”
Bibir Pak Lukman tampak membulat, sebagai tanggapan dari penjelasan Tian yang agak terbata-bata. Suasana kembali hening. Syifa masih fokus ke gawainya, hingga sama sekali tak menyimak obrolan singkat antara sang ayah dengan Tian. Entah apa yang sedang Syifa lakukan, chatting, googling, atau mungkin sekadar scrolling-scrolling. Syifa memuaskan dirinya dengan gawai untuk mengisi waktu sebelum tiba di sekolah. Sebab jika sudah masuk kelas, maka tak ada satu pun murid-murid yang boleh bercengkerama lagi dengan gawainya. Tak lama berselang, mobil pun tiba di depan gerbang sekolah. Pak Lukman menepikan mobilnya tepat di dekat gerbang.
“Ayah, Syifa sekolah dulu, ya.”
Syifa meraih tangan Pak Lukman lalu menciumnya dengan takzim, lalu disusul oleh Tian, mencium punggung tangan pria paruh baya itu dengan hormat.
“Terima kasih, Oom sudah mengantar Kak Farah juga saya. O iya, maaf atas ketidaknyamanan tadi,” ujar Tian santun.
“Iya sama-sama. Kalian belajar yang rajin, biar kelak menjadi generasi penerus yang berguna bagi nusa, bangsa, serta agama.”