"Rinaya aku mohon sama kamu. Jangan pergi dari rumah ini. Apa kamu tega meninggalkan anak kita, Leo?" tanya seorang pria dengan suara bergetar menahan tangis. Mencoba untuk menghentikan wanita yang notabene istrinya.
Lalu wanita itu menatap sejenak anak lelaki yang amat disayanginya. Anak itu berdiri tidak jauh darinya. Hingga akhirnya wanita itu kembali melangkahkan kakinya yang tadi sempat tertunda karena ucapan suaminya.
Anak itu kian menangis histeris. Merengek kepada mamanya yang memegang koper juga terus menarik tangan sang mama agar tidak meninggalkannya. Tidak ingin sang mama tercinta pergi darinya.
"Hiks hiks, jangan pergi Ma ... Leo janji akan jadi anak yang baik asal Mama jangan tinggalin Leo sama Papa ...," ucap Leo lirih.
Rinaya menatap Leo sejenak dengan pandangan iba. Jujur hatinya juga sakit melihat anaknya menangis seperti ini. Dia menyayangi putranya sebagaimana seorang ibu lainnya.
Tapi rasa sayangnya kepada putranya tidak lebih besar daripada rasa cintanya kepada seorang pria yang sedang menunggunya dengan sebuah mobil di luar sana.
Ditepisnya tangan putranya dengan lembut. Ia sedikit membungkukkan badannya kepada Leo. Memegang pundak Leo yang lalu menatapnya lekat. "Leo anak yang baik. Hanya saja Mama bukan ibu yang baik untuk Leo. Jadi, jangan pernah menunggu Mama. Karena Mama mungkin tidak akan pernah kembali untuk selamanya."
Rinaya lalu kembali menegakkan tubuhnya dengan mantap. Dia mendoktrin dirinya sendiri agar kuat dengan berkata bahwa putranya bukanlah prioritas utama dalam hidupnya. Bahkan Rinaya mencoba untuk tidak peduli saat Leo semakin menangis histeris karena ucapannya meskipun rasanya sulit.
Melihat putranya yang semakin histeris, sang ayah pun berjalan ke arah putranya seraya mendekapnya erat. Mencoba menenangkan putranya meski mustahil.
"Jangan lupa untuk menghadiri persidangan kita minggu depan, Bramasta," kata Rinaya yang lalu kembali melangkahkan kakinya sembari menggeret kopernya.
Rinaya mungkin sudah akan benar-benar pergi dari sana dan tidak menghentikan langkahnya yang sudah diambang pintu kalau Bramasta tidak berkata, "Apa tidak ada sedikit saja rasa cinta untukku?"
"Aku rasa kamu tahu betul jawabannya setelah apa yang sudah kuperbuat padamu, Bramasta."
"Tapi aku yakin kamu juga mencintaiku setelah selama sembilan tahun kita bersama. Dan mengenai apa yang telah kamu perbuat padaku selama dua tahun ini, itu hanya sebuah kesalahan saja. Aku bisa memaafkanmu jika kamu kembali padaku dan meninggalkan pria itu."
"Maaf. Aku rasa, aku tidak pernah mencintaimu. Aku yakin itu semua hanya prasangkamu saja. Kamu tidak bisa menerima kenyataan bahwa aku mencintainya sejak dulu. Kamu harus tau alasan mengapa aku bertahan selama ini adalah karena hartamu."
Leo semakin menangis histeris ketika Rinaya sudah berlalu pergi dari sana. Begitu juga dengan Bramasta yang menatap Rinaya yang telah pergi dengan sendu.
Tak terasa sebulir bening kini mulai turun di pipinya. Apa yang diucapkan oleh Rinaya, seorang wanita yang begitu dicintainya seolah seperti menikam jantungnya dengan belati.
Ternyata perasaan yang Bramasta rasa padanya hanya membawa luka. Indah pada awalnya. Namun menyakitkan pada akhirnya. Sungguh menyedihkan.