"Untuk apa takut pada manusia? Jika ujung-ujungnya dia sama seperti kita. Sama-sama tidak punya kekuatan lebih layaknya malaikat."
—Cahaya Permata Pamungkas—
***
"Cahaya. Lo nggak pa-pa 'kan? Ada yang luka nggak?" tanya Elisa dengan heboh. Cewek itu baru saja duduk di tempatnya. "Ya ampun lo masih hidup."
Ariesta memutar bola matanya. "Ya iyalah dia masih hidup. Kalo udah mati mah nggak bakalan di sini kali, Lis."
"Tau lo. Bego kok dipelihara," sahut Adelia untuk kemudian menatap Cahaya. "Pertanyaan gue keduluan Elis. Jadi tadi Leo nggak ngapa-ngapain lo 'kan? Soalnya, tadi kami sempat dengar dari Ucup kalo lo berantem sama Leo."
"Jadi nama si banci itu Le—"
"Ssssttt, Cahaya. Lo jangan sembarangan ngomong kayak gitu tentang Leo. Nanti kalo orangnya dengar, bisa tamat riwayat lo," kata Ariesta sembari menempelkan jari telunjuk di bibirnya sendiri.
Cahaya mendengus. "Lo kenapa sih kayaknya takut banget sama si banci itu. Lagian yang nentuin hidup kita tamat alias game over 'kan cuma Tuhan. Sang pencipta. Bukan dia."
"Ya tapi kan—" Ariesta mungkin akan melanjutkan percakapannya dengan Cahaya kalau Bu Jaenah, guru fisika yang terkenal killer tidak masuk ke dalam kelas setelah telat sepuluh menit lamanya. Sontak kelas yang semula serasa berada di ragunan langsung berubah menjadi kuburan.
"Cahaya, lo harus hati-hati sama yang namanya Leo. Karena Leo, nggak akan ngebiarin orang yang nantang dia hidup tenang," ucap Adelia akhirnya setengah berbisik tepat di telinga Cahaya.
***
"Ikut gue sekarang!" Dengan seenak jidat Leo menarik paksa tangan Cahaya yang pasti membuat Cahaya berusaha berontak mati-matian.
Ucapan serta bujukan Ahwal dan Fariz tidak dihiraukan oleh Leo. Leo tidak peduli, sebelum ia memastikan Cahaya tersiksa dan takut padanya maka ia takkan berhenti. Leo harus menuntaskan amarahnya sampai ke akar. Membalaskan dendamnya dengan cara yang Leo sukai.
"Leo tolong maafin Cahaya yah? Aku janji Cahaya nggak akan ngelakuin hal kayak gitu lagi. Iya kan, Cahaya?" kata Adelia sedikit takut saat berbicara pada Leo.
"Iya Leo, tolong maafin Cahaya. Mungkin tadi Cahaya lagi khilaf aja kok, nggak ada maksud buat ganggu lo," sahut Ariesta.
"Nggak perlu minta maaf buat banci kayak dia." Decih Cahaya saat sudah berhasil melepaskan cengkeraman Leo. Walau tangannya memerah parah. Tapi Cahaya tidak mengeluh atau sekadar meringis. Cahaya tidak mau terlihat lemah di depan lelaki. Apalagi, di depan banci berengsek seperti Leo.
Leo merasa amarahnya sudah membumbung tinggi jauh melewati ubun-ubunnya. Ucapan Cahaya barusan sungguh membuat Leo ingin melenyapkan Cahaya saat ini juga.