"Dulu kata pernah menjadikan aku dan kamu menjadi kita. Tapi sekarang kenangan yang menjadikan kata kita menjadi tiada."
—Imperfection—
***
Cahaya terdiam di dalam kamarnya dengan posisi telentang di atas ranjang. Matanya fokus menonton film yang tengah tayang di televisi.
Pintu kamar Cahaya dibuka dari luar. Seseorang masuk ke dalam kamarnya. Tapi fokus Cahaya masih pada televisinya. Enggan menatap yang lain. Sampai ketika orang itu duduk di pinggir ranjang, ia berkata, "Lo nggak bosan di rumah terus?"
Cahaya menoleh. Menyorot dingin pada pemilik suara. Tatapannya hampa. "Nggak."
"Emangnya lo lagi nonton apaan sih? Kayaknya serius amat." Kemudian orang itu—Reza beralih menatap layar televisi yang ada di dalam kamar Cahaya. "Oh lagi nonton film Aquaman. Emang seru sih tuh film."
Reza beralih menatap Cahaya yang masih fokus pada layar televisi. "Sampai kapan lo mau kayak gini, Cahaya?" tanya Reza akhirnya. "Tante lo bilang, dari pagi lo belum makan 'kan?"
Cahaya masih menatap layar televisinya. Tidak memedulikan ucapan Reza. "Mana Cahaya yang gue kenal dulu? Mana Cahaya yang kuat, galak dan jutek sama gue?"
Reza menghela napas. Cahaya masih tidak peduli padanya. "Lo ... kayak bukan Cahaya yang gue kenal."
"Berisik," kata Cahaya akhirnya. Fokusnya masih pada film yang tengah ditontonnya.
Reza menghela napas. "Gue tau lo masih berduka. Tapi nggak gini caranya, Cahaya." Katanya, "Kalo Leo bisa baik-baik aja setelah tau semuanya, lo pun harus bisa."
Kini Cahaya sudah menaruh atensinya pada Reza. Ia sudah menatap cowok itu dengan sorot dinginnya. "Kalo masih mau berisik, mending keluar." Katanya, "Lagian, siapa yang berduka?"
Reza sempat tersentak sebelum beberapa detik setelahnya kembali pada raut semula. "Lo boleh bagi beban lo sama gue, Cahaya kalo itu bisa buat lo lebih baik. Lo nggak perlu nyimpan semua sakit lo sendirian."
"Gue nggak ada masalah apa-apa. Jadi mending lo pergi," kata Cahaya dingin.
Sudah tiga hari semenjak pemakaman Pamungkas, Reza selalu datang ke rumahnya. Untuk sekadar melihat Cahaya dan menghiburnya.
"Saat gue ke sini tiga hari yang lalu, tante lo sempat cerita kondisi lo. Dan saat dia mau cerita tentang kehidupan lo, gue milih nolak. Kenapa? Karena bukan hak gue untuk tau masalah lo kecuali dengan atas izin lo. Lagian kalau pun harus, gue pengin dengar langsung dari mulut lo, Cahaya."
Cahaya diam. Matanya menatap Reza dengan dingin. "Lo bilang, gue adalah orang yang lo percaya. Lo nyaman sama gue. Kalo gitu lo harusnya bagi sakit lo sama gue, Cahaya. Lo harusnya cerita sama gue apa masalah lo. Biar gue seenggaknya bisa jadi orang yang berguna buat lo."
Cahaya tersenyum sinis dengan rautnya yang makin dingin tanpa ekspresi. "Rinaya udah dapat balasannya. Dia kehilangan suami yang pernah dia rebut dari orang lain. Pamungkas, monster yang selalu buat gue menderita udah pergi, Za."
Dada Cahaya sangat sesak dan sakit. Harusnya ia senang sekarang. Tetapi kenyataannya ia begitu terluka. Sangat. "Gue kecil hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Pamungkas selalu nyiksa gue, fisik juga batin.
"Gue hancur, terlebih saat nyokap gue meninggal karena penyakit meningitis yang dideritanya. Nggak sampai disitu, gue pun ikut sakit. Tapi saat itu jiwa gue yang sakit. Gue kena PTSD. Beruntung ada tante gue. Dia ngebantu gue supaya semangat untuk bangkit. Sampai akhirnya gue sembuh."
Sakit itu kian meremas erat jantungnya. Menimbulkan sakit dan sesak di dadanya yang kian menguat. "Saat gue liat anak itu dapat senyumnya dengan mudah. Dapat pelukannya, gue rasa ini semua nggak adil. Sedangkan gue sekali pun nggak pernah dapat itu semua dari dia."
Cahaya tersenyum tipis dengan air mata yang kini membasahi pipinya. "Harusnya gue senang. Tapi gue nggak ngerti sama diri gue sendiri. Rasanya sakit. Gue nggak akan pernah bisa bohong kalau gue peduli sama monster itu. Gue nggak akan pernah bisa ngelak kalau dia emang ayah gue."