Rio membawa Reza keluar menjauh dari markas Belati. Kini, mereka berdua tengah duduk di bawah pohon yang rindang. Napas Reza masih memburu menahan amarah yang semakin meletup-letup kala mengingat ucapan terakhir Leo tadi.
"Gue paham lo sekarang pasti kesal sama Leo," kata Rio kemudian yang membuat Reza menatapnya.
"Kita nggak bisa hakimin Leo, man. Karena kita nggak ngerasain apa yang Leo rasain. Kebencian yang dia pendam bertahun-tahun nyatanya malah berhubungan sama Cahaya." Menghela napas, Rio kembali melanjutkan, "lo tau sendiri bokap Cahaya itu sumber kehancuran keluarga Leo."
Rio menyulut rokoknya dan mengembuskan asapnya ke udara. Ia berkata, "Yang kayak lo liat. Cahaya pun bersikap sama. Gue yakin dia juga ngerasain apa yang Leo rasa. Kebencian, luka, kayak yang udah lo bilang tentang dia ke gue waktu itu." Rio menatap Reza yang juga tengah menatapnya. Katanya, "Dan di sini, tugas kita cuma cukup jadi pengamat, man. Nggak perlu lagi ikut campur dalam urusan hubungan Leo."
***
Tidak ada yang istimewa pada hari-hari berikutnya yang terjadi pada kehidupan Cahaya dan Leo. Mereka menjalani hari seperti biasanya. Bersikap seolah mereka adalah orang asing yang tak saling mengenal satu sama lain.
Leo juga sekarang jadi rajin masuk kelas semenjak Racquelle sekolah di SMA Angkasa seminggu yang lalu. Selalu mendapat nilai bagus saat pelajaran berlangsung.
Di koridor sekolah, Cahaya melangkah dengan raut dingin tanpa ekspresi. Ketika tiba di toilet, Cahaya langsung membasuh wajahnya di wastafel. Walau Cahaya tengah menunduk dan membasuh wajah dan tanpa melirik ke samping, Cahaya tahu ada seorang siswi di sampingnya. Baru keluar dari salah satu bilik toilet—dari suara pintu bilik toilet yang dibuka.
Ketika Cahaya menatap wajahnya di cermin, barulah Cahaya tahu siapa siswi itu. Adalah Racquelle yang kini tengah membasuh wajahnya. Ketika selesai, ia menatap Cahaya dengan senyumnya. "Kamu Cahaya, 'kan? Yang duduk di depan aku sama Leo."
Selama seminggu sekolah ini Racquelle memang belum berinteraksi dengan siapa pun selain dengan Leo. Waktunya habis untuk Leo saja. Terlebih, Cahaya juga dingin sekali.
Tapi sekarang mereka berpapasan di toilet dan hanya berdua saja di sana. Jadi tidak ada salahnya Racquelle untuk menyapa Cahaya.
Racquelle mengulurkan tangannya. Tersenyum dan berkata ramah, "Senang bisa kenalan sama kamu, Cahaya. Aku Racquelle, kamu bisa panggil aku Ralvina."
Cahaya hanya menyorot dingin pada Racquelle. Tidak berniat untuk menjabat tangannya. Ia bisa melihat mata Racquelle yang sedikit membengkak. Sepertinya perempuan itu habis menangis. Tapi Cahaya tidak peduli. Ia mengabaikan perempuan itu dan berbalik pergi. Tapi ketika ia sudah agak jauh toilet, ia jatuh akibat tabrakan dengan seorang siswa yang jalan begitu terburu.
Leo. Ia menatap Cahaya datar dan dingin untuk lalu berkata dengan sinis, "Ngalangin jalan."
Usai mengucap itu, Leo berjalan pergi. Menuju toilet perempuan. Cahaya bangkit dari posisinya. Untung Leo sudah keburu pergi dari hadapannya. Kalau tidak, mungkin Cahaya sudah membalasnya tadi.
Cahaya tahu sorot benci dengan jelas Leo layangkan padanya. Tapi Leo yang menabraknya. Leo yang salah. Tapi poin pentingnya, Cahaya tidak perlu berbicara dengan Leo. Ia tidak berniat untuk berbicara dengan lelaki itu.
Cahaya kembali melangkah dengan sorot dinginnya untuk kembali ke dalam kelasnya lagi. Karena sekarang, pelajaran masih berlangsung.
Sementara itu, Leo sudah ada di dalam toilet perempuan. Matanya menatap penuh penjelasan pada Racquelle. "Lo habis nangis? Kenapa?"
Racquelle tersenyum. Ia menggeleng. "Nggak," dusta Racquelle. "Mata aku kelilipan tadi," alibi Racquelle.
"Lo bohong," kata Leo dengan air muka datarnya.
"Nggak, ta—"
"Jangan bohong lagi sama gue, Ralvina," jeda Leo. "Gue nggak suka."
Racquelle menghela napasnya. "Aku cuma kepikiran sama mama," katanya sendu.
Langkah Leo berderap menghampiri Racquelle. Mempertipis jarak dan memeluk perempuan itu, menenangkan. "Mama lo bakalan baik-baik aja. Percaya sama gue, Ra."