Impian ke tanah suci, bukan lagi mimpi

Bayu insani
Chapter #2

Lelaki pendiam yang nekad

"Sadar Mas, tolong! Sadar! Jangan bikin malu aku!." ucap istri Hady, setengah berteriak. Dia sudah merasa lelah berdebat dengan suaminya.


"Kenapa harus malu. Aku gak ngelakuin hal-hal yang memalukan, kok. Aku cuma mau ke Mekah, apa salah" jawab Hady, kekeuh dengan pendiriannya. 


"Iya tapi jangan naik sepeda ke sananya, terlalu bahaya! Perjalanan bukan sehari dua hari mas, berbulan-bulan!. Kamu mau tidur di mana kalau malam?" Ucap Aminah, kesal.


"Kamu gak usah khawatir, di sepanjang perjalanan itu banyak masjid, SPBU, atau emperan toko. Aku bisa tidur di mana saja. Gak masalah" jawab Hady ringan. Dia yang udah bulat tekadnya, merasa semua masalah tak jadi masalah.


Mendengar jawaban suaminya, Aminah merasa semakin panas. Kekhawatiran-nya sebagai seorang istri, merasa tak dihargai.


Masa ke Mekah naik sepeda?? Sampai kapan nyampainya? Naik pesawat saja berjam-jam, bagaimana kalau sepeda? pasti berbulan-bulan. Belum rute perjalanan yang sama sekali belum pernah di lalui. Baru di dalam Negara saja sudah luasnya minta ampun, apalagi sampai ke luar negeri? Mengerikan. Belum mikirin makan minumnya. Terbayang bagaimana rumit dan sengsaranya di dalam perjalanan nanti.

bagaimana jika di jalanan kelak ketemu hutan belantara. Pastinya dia akan bertemu dengan hewan buas seperti harimau, singa, babi hutan, buaya, ataupun ular. Terbayang jika kelak suaminya di terkam buaya, bukan sampai Mekah, tapi langsung pindah alam seketika, tanpa sepengetahuan orang lain. 


"Mas ini kalau di bilangin ngeyel banget!. Jangan nekad. Kamu ada anak istri lho di rumah. Kalau di jalan diterkam harimau bagaimana? Emang kamu bisa ngabarin kami? Aku takut ah. Aku gak mau kehilangan kamu”


"Insya Allah aman, kamu jangan berpikiran terlalu jauh dan gila"


"Yang gila itu kamu mas!. Kamu itu udah gak waras. Bener apa kata tetangga, kamu udah gila, udah gak waras. Malu aku mas. Tolong deh. Pikirkan lagi. Kamu gak mikirin apa pandangan orang-orang ke kamu?" Cerocos Aminah. 



"Bodo amat, aku gak peduli dengan pandangan orang lain. Niatku cuma satu, ingin naik haji. Kalau ada orang lain bisa, kenapa aku nggak?"


Kembali Aminah dibuat jengkel dengan jawaban suaminya. Dia sudah kehabisan kata-kata. Setiap hari berdebat dan beradu mulut. Lelah hatinya. Dan sepertinya kali ini Aminah sudah menyerah. Pasrah dengan keputusan suaminya.


Keesokan harinya, Hady meminta izin untuk menjual salah satu sepeda motornya untuk membuat surat- surat perjalanannya. Seperti passport dan lain-lain. 


Aminah hanya mampu menghela nafas. Satu sisi, dia tak mungkin melarang seorang muslim yang ingin bertamu ke rumah Allah. Dia tak salah. Kerinduannya terhadap tanah suci telah ia pendam sedari muda, sebelum dia menikah dengannya.


Namun di sisi lain, dia juga tak tega melihat suaminya menaiki sepeda ke sana. Terbayangnya kesengsaraan. Kalaulah dirinya jadi orang kaya, pasti aminah akan membelikan tiket. Tapi mereka juga orang miskin.

Aminah resah. Selain memikirkan nasib perjalanan suaminya, memikirkan omongan oranglain yang menyangka suaminya gila, dia juga memikirkan nasib diri dan kedua anaknya, jika memang kelak di tinggal, dalam kurun waktu yang cukup lama. Mampukah dirinya menjadi seorang ibu juga seorang ayah. Di jakarta dia hanya ngontrak satu petak kamar. Pekerjaannya hanya sebagai pembantu rumah tangga. 

Lihat selengkapnya