Juli 2017
Matanya telah terpejam, mulutnya mulai melonggarkan cengkeraman. Ia sudah selesai menyusu. Aku merendahkan posisi dan menatap wajahnya lekat-lekat. Bibirnya yang pucat bergerak maju mundur seolah masih menghisap ASI. Mumpung dia baru terlelap, segera kuhirup aroma keringat bercampur minyak telon yang melimpah di ubun-ubun dan tengkuknya, aroma yang mampu melunakkan kepedihan hatiku saat ini. Aku berbisik padanya, “I love you, Kaida. Kamu pasti gembira karena setelah ini Bunda bisa selalu bersamamu.”
Baru lima menit aku mengendus-endus diaper Kaida yang pesing, ponselku bergetar, ada pesan WhatsApp masuk. Dari Prof. Jenny.
"Aya, saya dapat proyek penelitian dari Kementerian Lingkungan. Kamu pasti cocok, nih, sama topiknya. Sudah siap kembali bekerja?”
To the point. Beliau selalu langsung nenembak, tak pernah basa basi. Prof. Jenny pasti belum menemukan asisten peneliti baru. Mungkin dia kesulitan menemukan seseorang yang benar-benar dapat diandalkan dalam waktu singkat. Pesan ini belum kubalas langsung, hanya kujawab dalam hati. Maaf, Prof, aku belum bisa kembali. Aku takkan lagi kembali.
Kabar dari Prof. Jenny semakin menambah kesulitan hari ini. Tadi pagi, aku mendapat email dari Universitas Indonesia mengenai jadwal seminar di Salemba dan masa orientasi untuk mahasiswa pascasarjana. Seketika ada rasa bangga yang mampir kembali. Aku bangga karena bisa menaklukkan SIMAK UI hanya dengan mengisi 7 soal matematika. Aku bangga karena bisa lolos pada gelombang pertama. Aku bangga karena berhasil mendapat rekomendasi Prof. Jenny. Aku bangga bisa membuat Abah bahagia. Tapi, kini aku tak lagi bisa memperjuangkannya.
Aku beranjak dan mengintip suamiku yang sedang sibuk di depan Macbook Pro kesayangannya. Baru dua jam yang lalu aku meluapkan emosi padanya, lantas kutinggalkan dia sendirian di meja makan. Biasanya kalau kami bertengkar, dia akan segera menyusulku ke kamar. Tapi, kali ini dia memilih untuk segera mempersiapkan dokumen kepindahan yang sangat mendadak.