Impian Soraya

bundatraveler
Chapter #2

Arigatou, Dewi Fortuna

November 2013



Fakultas Hukum bukanlah fakultas pilihanku. Abah yang mengajukan padaku. Katanya, Abah hanya akan memberi restu jika aku kuliah di sini. Beliau ingin aku sekolah yang tinggi, jadi dosen, dan kalau bisa mendapat gelar profesor. 

“Aku tak berminat, Bah,” aku sampaikan padanya, apa adanya.

“Profesor itu tunjangannya besar, hidupmu akan terjamin. Sudah begitu, kamu bisa sering jalan-jalan, keliling Indonesia. Ke luar negeri. Kamu suka, kan?” Abah memberi iming-iming.

Lupakan soal tunjangan, aku yakin pekerjaan yang kuimpikan juga bisa membuatku tajir. Tapi, jalan-jalan? Dengan mudahnya aku tergiur seperti anak kecil yang disogok kembang gula. Aku menyetujui permintaannya, mengesampingkan jurusan yang aku minati.

Kenyataannya, kuliah hukum sangat membosankan. Semua yang diterangkan dosen dapat kubaca sendiri di buku. Andai aku tak bertemu Hukum Tata Negara dan gedung kampus yang megah, aku pasti sudah memohon-mohon agar Abah mengizinkan aku ikut tes masuk perguruan tinggi lagi tahun berikutnya. Aku menghabiskan sebagian besar waktu di kelas untuk membaca komik. Kalau sedang waras saja aku mau mencatat. Cara bertahan di kampus ini cukup mudah: presensi 80% dan nilai yang bagus. Nggak C+ atau bahkan D.

Selepas kelas, aku jarang nongkrong bareng teman-teman. Kalau diajak ngebakso, okelah. Kalau diajak ngemal, aku pasti nolak. Aku lebih doyan berburu informasi student exchange. Kujelajahi papan pengumuman rektorat, aku selami informasi yang berserakan di internet. Kadang, aku menyambangi bagian akademik fakultas. Mereka sampai hafal denganku. Ini menguntungkan, karena aku selalu mendapat bocoran tentang agenda exchange yang masih coming soon. Jadi, aku ada persiapan lebih matang.

Seperti saat ini, aku telah mengantongi sebuah surat undangan baru. Negara ini, akan menjadi negara terakhir yang aku kunjungi selama kuliah. Kuputuskan untuk mempercepat langkah menuju lokasi favoritku: atap gedung fakultas yang hanya berisi tandon dan genangan air.

Aku selalu ke sana untuk melakukan ritual membuka surat undangan pertukaran pelajar dan short course ke luar negeri. Agar ritualku lancar, aku selalu menunggu sore hari, ketika sebagian besar mahasiswa beranjak pergi pasca kuliah terakhir pukul 17.00. Berkat relasi yang baik dengan Pak Yadi, juru kunci fakultas, aku selalu mendapat izin selama 15 menit untuk menghabiskan sisa hari sendirian di atap gedung. 

Atap gedung utama fakultas memungkinkanku menikmati senja yang rupawan di Kota Malang. Peralihan warna langit ini sering membuatku teringat dengan seseorang. Lelaki yang membuatku mencintai alam, lelaki yang membuatku ingin berkuliah jauh dari rumah, sekaligus lelaki yang membuatku tak ingin berpacaran lagi. Aku sadar, pencapaianku di sini tak lepas dari apa yang telah ia perbuat kepadaku. Luka yang pernah membuatku rapuh, ternyata menjadi pelajaran berharga. What doesn't kill you make you stronger kalau kata Kelly Clarkson. 

Ketika mataku sudah tidak melihat lekuk tubuh Sang Surya, aku kembali membuka undangan dari International Office kampus yang memberitahuku bahwa aku lolos student exchange ke Jepang. Diam-diam aku bangga lagi terharu. Kurayakan hari ini dengan mengingatnya, memandangi langit yang segera menua. Telah lama aku melepas semua, tak sedikitpun perasaanku tersisa padanya. Namun, harus aku akui dengan terbuka bahwa dia sangat berperan dalam membentuk diriku hari ini.

Lihat selengkapnya