Besok saya tunggu pukul 08.30 di gerbang kemarin, ya. Jangan sampai terlambat.
Siap, Buos!
Beres, Mas eee
*Stiker*
Oh, ya, berdoa saja semoga besok ada Si Yuki alias salju.
Salju? Ini beneran, Kak?
Kak Aksa tak menjawab di grup. Kupikir dia sudah terlelap. Selang 15 menit kemudian, dia mengirimkan sebuah tautan tentang perkiraan cuaca. Ah, sungguh aku tak sabar!
✨ ✨ ✨
“Yuki!” Kami berempat berteriak bebarengan.
Benar saja, kumulonimbus pagi ini menaburkan salju di Higashihiroshima. Salju ini layaknya es serut, sangat tipis, dan jarang. Bagaimanapun, tetap saja berhasil membuat kami bahagia. Kami menengadahkan kedua tangan ke langit, berharap salju turun lebih banyak lagi. Beberapa warga lokal yang lewat tertawa melihat kenorakan kami. Bodo amat. Namanya juga pengalaman pertama!
Kak Aksa benar-benar menunggu kami. Dia nggak duduk, tapi berdiri bersandar di tiang halte sambil membaca buku. Aku menduga ia juga baru datang paling lama 10 menit yang lalu.
Hari ini kami ada jadwal untuk campus tour dengan bersepeda, tetapi tertunda karena Bu Wulan meminta pada Eiko Sensei agar lebih banyak waktu di pusat kota. Beliau khawatir kami kelelahan jika pulang terlalu malam.
Kami naik bis selama 45 menit menuju kota Hiroshima. Aku duduk di sebelah Kak Aksa. Agak canggung sebenarnya gara-gara kemarin aku gagal mengingatnya. Tetapi, Bu Wulan terlihat sibuk mengobrol dengan Eiko Sensei dan mereka langsung mengambil tempat berdua. Sementara Ranu dan Wira juga selalu lengket bebarengan seperti dua polisi di film Bad Boys.
Baru 500 meter bis melaju, salju kembali turun. Kali ini lebih deras dari sebelumnya, bahkan aliran saljunya sempat tertiup angin dan berhamburan tak karuan. Aku sontak menempelkan tangan ke jendela.
“Indah sekali, Masya Allah…”
Aku melirik ke belakang, Ranu dan Wira juga tampak berebut ingin mendekatkan muka ke jendela.
“Kita beruntung. Tidak biasanya salju turun pada bulan November di Higashihiroshima,” ujar Kak Aksa. Aku menoleh dan tersenyum padanya, ternyata ia juga sedang menikmati pemandangan di luar.
“Rezeki banget, ya. Kayaknya kota ini ingin menyambut kita dengan suka cita. Hahaha.” Ranu berasumsi dengan kepedean yang tinggi.
“Nanti di Hiroshima bisa salju juga, dong? Aku pas nggak bawa payung, nih,” tanyaku.
Kak Aksa menggeleng. “Sepertinya tidak, kota ini memang agak tinggi. Di sana nanti akan lebih hangat. Kutebak langitnya akan cerah.”
Bis terus melaju. Aku memilih untuk memerintahkan mata agar tetap memandang keluar. Merekam ingatan ini lekat-lekat agar kelak aku bisa mengulanginya dalam doa. Kulihat kota ini banyak dikelilingi oleh bukit dan beberapa puncak bukit sudah terlihat putih sementara bagian bawah masih merah-oranye-dan kuning. Beberapa daun sudah ada yang meranggas, beberapa lagi masih tegar dengan warna hijaunya. Benar kata Kak Aksa, kami beruntung. Bukan hanya karena kami mendapat rintik salju, tetapi karena kami menjadi saksi bergilirnya musim.
✨ ✨ ✨
Hiroshima adalah kata yang lekat dengan kehancuran. Setidaknya itu yang terpatri pada benakku seusai aku menonton sebuah film dokumentasi tentang bagaimana menderitanya para korban bom akan kehancuran kotanya.
Namun, kini pandanganku berubah. Kota ini adalah kota yang menjunjung perdamaian. Mereka telah belajar dari sejarah. Persis seperti Berlin yang memiliki The Holocaust Memorial, Hiroshima memiliki sejumlah landmark yang memungkinkan kita untuk berziarah seperti Hiroshima Peace Memorial Park. Bahkan, ada bangunan sisa reruntuhan bom yang menjadi perantara antara kami dan kebengisan manusia kala itu.
Kami melihat anak-anak SD dipandu oleh gurunya untuk melihat suasana di sekitar taman. Persis seperti di kartun Doraemon, mereka berkerumun dan mengenakan topi berwarna kuning. Gemas sekali, aku seperti masuk kotak kebahagiaan pada masa kecilku dulu.
Kak Aksa mengajak kami untuk berfoto di depan Atomic Bomb Dome. Segera aku memasang tripod agar kami semua bisa masuk dalam satu frame. Aku sudah menaikkan senyum, Ranu dan Wira juga berpose dengan peace sign di tangan. Tiba-tiba saja Kak Aksa meraih tangan kedua lelaki itu untuk turun. Seperti tergesa-gesa.
“Jangan tersenyum di sini,” ujarnya berbisik.
Baru saja aku ingin bertanya alasannya, Bu Wulan segera menjelaskan. “Kita harus menunjukkan wajah yang datar untuk menghormati kejadian bersejarah yang penuh duka itu.”
Oh, baik.
Diam-diam aku bersyukur campus tour ditunda. Eiko Sensei memberi kami waktu lebih banyak untuk eksplorasi di area Hiroshima Memorial Park dan Hiroshima Peace Memorial Museum. Sebelumnya, kami hanya diberi waktu selama satu jam. Untuk museum sebesar ini? Mana bisa. Andai museum di Indonesia dibuat megah dan atraktif, kurasa aku pun betah berlama-lama di sana. Museum ini menyuguhkan barang-barang para korban yang terbakar, ada pula cerita asli tentang Sadako Sasaki, seorang anak berusia 2 tahun yang selamat dari paparan radiasi. Namun, dia mendapat vonis leukimia dari dokter dan meninggal pada usia 12 tahun. Sebelum hari ini, kukira Sadako itu sekadar Mbak Kunti ciptaan Jepang saja.
✨ ✨ ✨
Menurut Teori Warna, warna biru dan kuning adalah sepasang warna yang kontras. Warna ini tidak haram digunakan, hanya harus berhati-hati agar nggak terlihat norak. Aturan ini tak berlaku di langit Hiroshima, ketika warna daun yang menguning di halaman museum berada dalam satu bingkai bersama langit biru muda. Keduanya berpadu mesra, menciptakan warna vibrant yang membuatku mengistirahatkan langkah.
“Ya Allaaah… cantik sekali ini.”
“Aku fotoin mau? Aya, Bu Wulan, Ranu, dan Wira, juga Eiko Sensei berbaring melingkar. Kepala ketemu kepala,” tiba-tiba saja Kak Aksa melontarkan ide cemerlang.
Kami semua setuju. Dengan sigap, Kak Aksa mengarahkan kami untuk berbaring di atas dedaunan yang kering, lantas dengan lincah mengarahkan lensa tepat diatas wajah kami. Hasil jepretannya oke juga, kurasa dia cukup mahir menggunakan DSLR.
“Kak, mau aku fotoin juga?”
“Boleh, tapi berdiri aja, ya.”
Dia melihat hasil foto dan memujiku. “Bagus banget! Kayaknya aku udah lama nggak punya foto yang belakangnya ngeblur gini.”
“Ini bokeh,” kataku. Oke, sepertinya kemampuan Kak Aksa tadi hanya kebetulan. Lelaki ini agaknya tak begitu paham istilah dunia fotografi.
Kugeser lagi foto demi foto yang telah kubidik. Ah, hasil jepretanku memang rancak bana!
✨ ✨ ✨
Eiko Sensei dan Bu Wulan meminta kami untuk langsung ke hotel. Sore ini, beliau masih disibukkan dengan urusan kerjasama kampus yang aku tidak terlalu paham. Kami manut. Ranu dan Wira menagih janji ke Kak Aksa untuk mengajak ke Second Street, namun sayangnya toko itu masih tutup.
“Mungkin baru buka lagi malam. Lagipula enakan malam sih kesananya.”
Kami memutuskan untuk pulang ke hotel. Sejenak sebelum kami masuk ke lobi, Wira mengajukan pertanyaan pada Kak Aksa.