Matahari masih menuntaskan tugasnya di belahan bumi yang lain ketika kami sudah melesat ke bandara Hiroshima. Waktu kami di Jepang telah usai. Singkat nan penuh makna. Dalam senyap aku merapal doa. Ya Allah, perkenankan aku kembali lagi ke sini kelak. Mungkin untuk sekadar jalan-jalan, atau malah sekalian kuliah. Please, Ya Allah. Aku jatuh cinta dengan kota ini.
Eiko Sensei dan Kak Aksa telah menunggu kami di bandara untuk mempersiapkan dokumen dokumen keberangkatan dan memasukkan bagasi. Aku panik ketika Mbak Petugas menginformasikan bahwa koperku kelebihan muat. Aku harus menguranginya atau membayar 134 $ atau setara dengan 2 juta rupiah. Mampus!
“Titip ke aku aja gimana? Daripada kamu keluar 2 juta, eman, lho. Nanti kayaknya Februari aku balik ke Indonesia. Biasanya barangku gak banyak, kok,” tiba-tiba Kak Aksa menawarkan bantuan.
Andai aku memiliki filter pendeteksi benda halus, aku yakin ada sepasang sayap yang bercokol di punggung Kak Aksa. Orang ini baik banget sampai aku tak tahu bagaimana harus bilang makasih padanya. Segera aku mutasi printilan lucu yang kubeli di Daiso dan di Second Street. Sekali lagi aku menggandakan ucapan terima kasih pada Kak Aksa.
“Lo sih belanja mulu, dasar cewek, ribet!” Wira mengejekku.
“Bawel. Mendinglah uang saku aku pakai beli barang-barang lucu gini, ada bentuknya. Lah, uang sakumu masuknya ke perut doang, dikeluarin lagi, pula.”
“Udah-udah, aku traktir ngopi bentar, yuk? Sensei sama Bu Wulan juga masih ngobrol sendiri,” Kak Aksa menunjuk kafe kopi kecil di area pertokoan bandara.
Setelah Kak Aksa menyeruput kopi pertamanya, dia mengajukan pertanyaan pada kami. “Hei, kalian sadar gak, hari ini ada yang bertambah tua?”
Ranu dan Wira berpandangan. “Elo ya, Nu?”
“Bukan, lah. Ulang tahunku bulan ketigabelas, kayak gaji yang ditunggu-tunggu emak!”
Sontak kami terbahak. Tapi, aku masih bertanya-tanya, Kak Aksa tahu darimana? Oh, iya, barangkali dari dokumenku. Dia memang menjadi orang yang kepercayaan Eiko Sensei untuk mengurus semua dokumen dan administrasi kami selama di Hirodai.
“Lo ya, Mas? Pantas lah gue ditraktir begini, tau gitu gue nambah satu sushi!”
Dia menggeleng sebentar, menyimpulkan senyum di sudut bibirnya dan menyudutkan mata ke arahku. Kami hanya berempat, tentu gampang menebak siapa.
“Eum… hehe.”
“Ya ampun, Aya-san! Kok bisa sih kita gatau, parah banget lo, Nu! Kan elo yang jadi koordinator!”
Kak Aksa menggeleng. “Iya, parah banget kalian. Udah gitu gak ada yang ngucapin lagi.”
“Happy birthday, Ayaaa,” mereka berdua kompak berteriak sampai mencuri perhatian separuh pengunjung kafe.
Ranu mengibas-kibaskan selada mentah yang telah belepotan mayones ke pipi gembulku. Duh. Terakhir aku merayakan ulang tahun pada saat aku berumur 17. Setelahnya, aku hanya mendapat ucapan dan mentraktir teman dekat. Kejutan kecil dari Kak Aksa, Ranu, dan Wira ini membuat hatiku hangat. Mereka berhasil menyapu rasa gundah gara-gara tragedi bagasi.
“Ya sudah, karena kalian nggak ada yang inget, anggap traktiranku hari ini sebagai traktiran dari Aya,” Kak Aksa berbicara sambil menyodorkan tisu padaku.
“Yes!“ Aku mengepalkan tangan dan menekan siku ke arah perut.
Terdengar suara-suara sumbang tanda tak sepaham. Mereka tentu akan menagihku di Indonesia nanti. “Makasi ya, Kak, huahahaha. Kalian kalo mau aku traktir, ngasih kado dulu, dong! Yang bagus tapi ya, yang aku pengenin!” ancamku.
✨ ✨ ✨
Ranu dan Wira berjalan bersama Eiko Sensei dan Bu Wulan menuju eskalator sementara aku masih mengobrol dengan Kak Aksa. Hingga sampai di batas pengunjung, Kak Aksa tiba-tiba berhenti. Dia berbalik arah menghadapku.