Ini adalah pertemuan kelima kami di Indonesia. Kali ini, kami tidak lagi makan bersama, tetapi melakukan perjalanan bersama. Perjalanan singkat Malang-Surabaya, perjalanan pertamaku naik bis berdua bersama Kak Aksa.
Kak Aksa terlihat sangat kikuk. Dia memakai kemeja polos dan celana kain hitam panjang seperti akan melamar pekerjaan. Dia bahkan melafalkan beberapa kalimat dalam bahasa Jawa halus. Aku tak bisa berhenti menertawainya. Kukatakan padanya bahwa Abah dan Umi adalah Wong Suroboyo notok¹. Dia akan menjadi bulan-bulanan apabila terus berbicara dengan bahasa yang selembut itu.
Aku jadi teringat percakapanku dengan Umi dan Abah perkara pendamping hidup. Umi punya syarat, pendampingku kelak harus orang Jawa. Karena syarat ini pula Umi sempat menolak beberapa teman lelaki yang datang ke rumah. Ah, aku sungguh tak paham pola pikir Umi yang terkadang sangat kejawen. Kalau orangnya baik, kenapa tidak, sih?
Sementara Abah memberiku 3 syarat. Bukan bule, bukan orang partai, dan bukan pesepeda fixie. Soal bule, Abah khawatir aku murtad dan dibawa ke negaranya. Soal orang partai, karena Abah punya pengalaman buruk dengan mereka. Pesepeda fixie? Ini yang aku tak paham.
“Karena sepedanya gak ada rem. Orang macam apa yang naik sepeda gak pakai rem?!” Abah auto nyolot kalau melihat orang naik sepeda fixie.
“Lah, ngeremnya kan pakai pedal, Bah. Lebih simpel gitu.”
“Halah, gak efektif. Selak ketubruk, modyar.² Wes, habis gini tak pasang pengumuman, wong sing sepedahan nggawe fixie ojo mlebu omah.³ Kalo kamu ngotot naik sepeda fixie, kamu juga gak usah pulang.”
Anjay, kukira aku akan diusir dari rumah karena pacaran kelewatan atau DO, ternyata naik sepeda fixie!
Aku tersenyum sendiri mengingat percakapan konyolku dengan Abah. Keanehan Abah inilah yang membuatku yakin beliau akan menerima Kak Aksa. Terlebih, Kak Aksa ini orangnya gigih, sama seperti Abi.
“Aya, bagaimana kalau Abah dan Umimu nggak setuju? Gimana kalau aku tak direstui bersamamu? Apa rencanamu?”
Aku menoleh padanya. Kak Aksa ini sering membuatku heran, dia sudah sejauh ini tetapi mengapa pertanyaan seperti ini tidak dia siapkan? Ah, kurasa dia tanya begini karena ingin tahu reaksiku saja.
“Nggak tahu, aku belum mikirin, Kak,” jawabku enteng. Aku kembali memandang kompleks Gunung Arjuno, Welirang, dan Penanggungan.
Jujur saja akupun khawatir, tetapi kekhawatiranku hanya 10%. Aku optimis Kak Aksa disambut baik oleh Umi karena Umi sangat ingin aku memiliki kekasih. Sampai-sampai, Umi bersikap aneh. Beliau suka menanyakan kabarku ke orang pintar, tentang siapa yang sedang mendekatiku dan apakah aku berbohong padanya bahwa aku tak punya kekasih. Kadang aku terkesima, kok bisa Umi lebih percaya omongan orang pintar ketimbang anaknya sendiri?
“Apapun syarat dari Abi dan Umimu, aku akan berusaha perjuangkan sebisaku, Aya.”
“Menarik. Memangnya Kak Aksa tahu apa yang akan diminta oleh Abi dan Umi?”
Dia menggeleng lalu menggaruk rambutnya. Aku tertawa.
“Kak, kalimatmu basa-basi banget. Mambu, huuu..” aku meledeknya.
“Lho, aku sungguhan, Aya. Maksudku, misalnya syaratnya itu aku harus kerja sampai punya gaji pada nilai tertentu, aku bisa berusaha memenuhinya, asal kamu mau menunggu.”
“Hmm… mau gak ya,” aku menggodanya. Kak Aksa sangat lucu, baru kali ini aku melihat raut khawatir pada wajahnya.
“Kayaknya aku yang nggak bisa, deh, Aya. Nanti kamu keburu diincar orang.”
Aku tertawa lagi. Kali ini aku tak menghiraukannya. Kubiarkan dia larut dalam kerisauan. Begitu bis sudah masuk ke terminal Bungurasih, aku berbisik kepadanya.
“Kak, panggil aku Ay aja,” kulihat senyumnya mengembang. Lesung pipi tunggalnya terlihat, matanya semakin melengkung bagai busur. Apakah Kak Aksa pernah sadar bahwa dia sudah cukup menawan bagiku?
✨ ✨ ✨
Umi, sesuai dugaanku, menyambut baik kedatangan Kak Aksa. Umi bahkan membuatkannya Sup Iga, sebuah makanan yang hanya diracik Umi pada perayaan tertentu. Umi juga membuatkan Es Oyen, pas banget karena cuaca Sukolilo sangat terik hari ini. Bahkan, aku tak menduga Umi akan berbicara cukup jauh, seperti ketika dia berbicara tentang cinta pertamanya dulu kepada Kak Aksa. Lah, Mas Firaz yang sudah 3 tahun tinggal bersama kami saja belum tentu tahu persoalan ini.
Kedatangan Kak Aksa memang kurahasiakan dari Abah. Ini Umi yang meminta, karena Abah sedang sibuk mengurus pendirian CV baru. Tetapi, begitu aku sampai rumah dan aku kabari bahwa aku datang bersama Kak Aksa, Abah langsung meluncur pulang.
Aku terheran-heran, mengapa Abah dan Umi menyambut Kak Aksa dengan begitu hangat? Aku memang sudah bercerita bahwa aku sedang dekat dengannya. Tapi, aku belum bilang kalau Kak Aksa akan berbicara hal yang serius pagi ini. Seolah mereka sudah tahu, kali ini mereka sedang berhadapan dengan calon suamiku.