Impian Soraya

bundatraveler
Chapter #8

Polemik Hari Baik

Mei 2014

“Ay… kamu keberatan nggak kalau aku ingin mempercepat melamarmu?”

Sebuah WA di siang yang terik dikirim oleh Kak Aksa. Jam segini di Hiroshima, biasanya Kak Aksa sedang makan siang. Aku di sini baru perjalanan ke kantor. Ini adalah hari kelima aku magang dan Kak Aksa sudah membajak pikiranku dengan persoalan lamaran.

“Kak, bisa kita bicarakan nanti? Aku sudah mau sampai kantor, nih,” balasku cepat. Aku bahkan melewatkan sarapan rendang yang ditawarkan oleh Tante Arini pagi ini. Aku berharap tidak pingsan karena kehabisan tenaga menjalani hari sambil memikirkan chat dari Kak Aksa.

“Oh, maaf, Ay. Aku lupa, duh. Semoga hari ini lancar ya, bismillah.

Jangan lupa senyum.

Ayo, senyum.

Sekarang.”

Kusempatkan ke toilet untuk merapikan rok dan kemejaku. Aku atur ulang kuncir rambut dan aku sunggingkan sebuah senyuman. Kubayangkan, ini untuk Kak Aksa yang jauh di Jepang.

Abah dan Umi akhirnya mencapai kata sepakat untuk masa depanku bersama Kak Aksa. Aku diizinkan bekerja sambil menunggu Kak Aksa bekerja di Hiroshima. Rencananya, dua atau tiga tahun lagi kami akan menikah. Aku tak masalah menunggu, sebab, banyak hal yang bisa dilakukan di sini. 

Aku magang di Indonesian Center for Social Studies atau ICSS, sebuah lembaga riset swasta di Jakarta. Pekerjaanku tidak terlalu susah, aku hanya perlu membuat tulisan terkait isu-isu hukum dan politik. Hanya saja, pekerjaan ini menuntutku melahap ratusan jurnal dan buku. Itu yang membuatku kerap lelah. Tapi, jujur saja, ini sangat menyenangkan. Aku dapat banyak perspektif baru dari bahan bacaan dan diskusi dengan sesama rekan.

Meski karyawan magang, aku cukup beruntung karena aku dibayar separuh gaji pokok karyawan tetap. Cukup lah untuk aku sisihkan untuk makan dan menabung. Tempat tinggal sudah ikut tanteku yang tinggal di Jakarta.

Hari ini, aku kebagian mengerjakan tulisan tentang pesta demokrasi. Biarpun aku enjoy menganalisis berbagai peraturan pemilu, aku jengah dengan situasi tahun ini. Tahun dimana Indonesia harus dihadapkan pada dua pilihan saja, mempolarisasi masyarakat menjadi 2 kubu berseberangan. Aku sungguh benci perpecahan ini. 

Tapi, tahun ini juga sangat membahagiakan buatku. Apalagi baru saja Kak Aksa mengucap satu kata: lamaran. Apa yang ada di pikirannya tentang lamaran? Sejak hari pertama aku mengenalnya hingga kami diberi restu oleh Abah, Kak Aksa belum pernah mengatakan satu kata pembuka itu. Pembicaraan tentang pernikahan, tentang berkeluarga, sering terjadi. Tetapi, lamaran… itu adalah satu kata yang akan membuka segalanya.

Aku rasa, dia sudah siap. Dia benar-benar mempertimbangkan segalanya.

✨ ✨ ✨

“Kak, nanti skype-an?”

“Boleh, kamu bisa jam berapa?”

“Aku sudah di KRL, otw pulang. Tunggu ya,”

“Iya, Ay :)”

Tante Arini sedang tak di rumah, aku tak perlu merasa bersalah melewatkan makan malam bersama. Segera kubersihkan diri dengan air Jakarta yang sangat asin dan kubanting tubuhku ke kasur. Sejenak aku tenangkan otot-otot punggungku. Baru kemudian aku membuka laptop, siap bertemu dengan lelakiku.

“Ay, aku punya dua berita. Mungkin kamu akan kaget. Tapi, plis, jangan kaget.”

Well, oke....”

“Aku resign."

“Hah? Gimana?!”

“Haha, enggak. Yaa, nggak salah juga, sih,”

“Duh, tolong dong, yang jelas. Kamu kok berani resign, sih?”

“Iya, gini dengerin dulu, ya. Aku habis bicara sama atasanku kemarin lusa. Kami makan siang dan membicarakan hal-hal yang lebih pribadi. Akhir-akhir ini aku memang lebih dekat dengan atasanku, dia bilang sangat nyaman bekerja denganku hingga aku sering ditraktir makan ramen.”

Pantas saja seminggu kemarin dia jarang chat kalau malam. Mungkin begitu sampai dorm dia sangat kelelahan.

Trus, aku memberanikan diri untuk bicara tentang kamu. Tentang rencana kita, tentang restu Abah, dan tentang aku yang sedang kebingungan. Dan kamu tahu, apa yang dia katakan?”

Lihat selengkapnya