Impian Soraya

bundatraveler
Chapter #9

Menuju Pintu Gerbang

Oktober 2014

Kak Aksa menunaikan janjinya.

Dia resign pada bulan Oktober. Sebulan sebelum keluar, dia telah diterima bekerja di sebuah start up e-commerce Islami yang sedang merangkak naik. Menurut perhitungan Kak Aksa, e-commerce ini akan booming di Indonesia lantaran market muslim yang terus bertumbuh. Selain itu, dia menjual produk-produk terkurasi dengan target pasar untuk muslim dan muslimah kelas menengah ke atas. Kak Aksa terlihat senang sekali bisa diterima bekerja di sana. Bagi dia, pengalaman baru ini akan sangat menantang. Sebelumnya, Kak Aksa bekerja di perusahaan besar yang cukup stabil, sementara e-commerce muslim ini adalah sesuatu yang sangat gres.

Aku turut bahagia, aku pun mendapat wawasan baru setiap berdiskusi dengan Kak Aksa. 

Tepat pada tanggal 1 Oktober, Kak Aksa tiba di Jakarta. Aku telah memilihkan kos-kosan untuknya di daerah Depok, cari yang di area mahasiswa agar lebih murah. Sebenarnya aku tahu Kak Aksa bisa menyewa apartemen, tetapi, ini permintaan Kak Aksa sendiri agar lebih berhemat jelang pernikahan. Aku pun senang karena jaraknya tidak terlalu jauh dari kos Tante Arini di Jakarta Selatan. 

Perkara tanggal, sahabat ibuku menerbitkan sebuah solusi. Menurut perhitungannya, hari baik ini masih bisa didapat dengan catatan lamaran harus dilaksanakan pada tanggal 29 November 2014 dan pernikahan tanggal 14 Februari 2015. Kukatakan hal ini pada Kak Aksa ketika kami sarapan bersama, dia manut-manut saja, sebab, perhitungan ini sesuai dengan rencana awalnya. Meskipun pada dasarnya dia juga bukan orang yang suka hal-hal yang kejawen begini.

“Ay, gimana, ya… Aku sekolah belajar data. Jadi, tentu aku lebih dominan mengandalkan logical thinking. Tetapi, akupun pernah punya pengalaman mistis dengan hal-hal ghaib ini. Jadi ya percaya nggak percaya juga, sih. Cuman untuk pernikahan, aku juga tidak terlalu banyak paham. Pada dasarnya aku sama kayak kamu, selama ini baik, selama Allah ngasih petunjuk, ya aku jalani. Kalau orang tua punya pandangan dan nilai lain, aku rasa kita sebagai anak-anaknya ya harus menghormati.”

“Jadi, kita ikutin aja gitu?”

“He’em. Nggak ada salahnya, kan? Nggak ada ruginya juga.”

“Em.. maksudku, kamu siap untuk lamaran tanggal 29 November?”

Insya Allah siap. Aku akan kabari orang tuaku secepatnya. Hm, aku telepon sekarang aja. Tunggu sebentar, ya.”

Dengan lincah, jemari Kak Aksa mencari nomor Ibuk. Hanya butuh waktu 10 detik, Ibuk sudah mengangkat telepon dan langsung keluar suara nyaring Ibuk dengan logat ngapaknya yang kental. Aku kadang kagum, Ibuk sangat konsisten mempertahankan logat Ngapak dari daerah asalnya, Purwokerto. Dulu ketika di rumah Kak Aksa, aku sering tertawa melihat dia, Bapak, dan Ibuk cas cis cus dengan Bahasa Ngapak. Intonasinya itu, lho, bisa gitu, ya, naik turunnya berirama.

Lihat selengkapnya