November 2014
“Sudah sampai mana?”
Aku menunggu Kak Aksa yang terlambat 30 menit dari janjinya datang pukul 08.00.
“Perempatan Arif Rahman Hakim. Maaf, sayang, tadi kejebak macet.”
Oke, sekitar 15 menit lagi mereka datang. Aku mengecek kembali seluruh ruangan dan pakaianku. Umi memintaku untuk mengenakan kebaya, tetapi aku menolaknya. Nggak nyaman dan berlebihan menurutku.
Aku dan Kak Aksa memilih untuk mencari baju batik couple dengan warna favorit kami. Aku suka warna biru, Kak Aksa suka warna merah. Bukan dua warna yang cocok jika berpadu. Ajaibnya, kami mendapat batik yang kami inginkan. Dengan paduan warna dan pola batik yang sempurna, terlihat elegan karena dibuat di atas kain satin yang tidak terlalu mengkilap.
Aku mengenakan rok putih sebagai bawahan dan scarf untuk menutupi sebagian kepala. Aku juga bingung mau dandan seperti apa, tetapi aku ingat pesan Kak Aksa.
“Ay, nggak usah dandan, ya. Kamu polosan aja, natural. Jangan pakai kuteks juga, aku nggak suka.”
“Dih, ngapain aku nurut. Untung aja yang nggak kamu suka, aku juga nggak suka. Kalo aku suka, aku bakal tetep pakai kuteks, lho,” kataku. Dia hanya tertawa, seolah memahami aku yang begitu keras kepala.
Tak lama, kudengar, deru mobil tiba di depan rumah. Mas Firaz keluar, dia mengarahkan agar kedua mobil keluarga Kak Aksa parkir di pinggir danau kecil milik perumahan yang ada di depan rumah.
Seperti orang desa pada umumnya, Kak Aksa membawa keluarga besarnya. Ada Bapak, Ibuk, Pakdhe dan Omnya Kak Aksa, keponakan Bapak, serta beberapa cucu. Adik Kak Aksa yang belajar di pesantren juga turut hadir. Ini pertama kali aku bertemu bocah SMA yang mirip dengan Kak Aksa, namanya Hanif. Sementara dari keluargaku, ada Mas Firaz, Om, Tante, dan kedua orang tuaku.
Kakung juga sudah duduk manis di dalam. Dengan kemeja batik kebanggaan dan kopiahnya, Kakung duduk di tengah. Jemarinya tak pernah diam, mulutnya tak berhenti melantunkan doa atau mantra, aku pun tak tahu persis. Sementara aku hanya berpikir bahwa Kakung ingin memastikan pertemuan pertamanya dengan Kak Aksa berlangsung baik-baik saja.
Awalnya aku kira Kak Aksa akan berbicara sendiri untuk melamarku seperti yang sering aku tonton di film-film. Ternyata, prinsip ini tidak berlaku di keluarga Kak Aksa. Jujur saja hal ini membuatku kurang nyaman. Kurasa kami sudah cukup dewasa, tidak perlu diwakilkan lagi. Kami, kan, bukan anak ingusan yang ingin menikah karena terpacu birahi semata.
Segera aku singkirkan pikiran burukku. Kuanggap, ini memang sebuah budaya yang harus aku hormati. Seperti kata Kak Aksa.
Tanggal pernikahan juga langsung dibicarakan pada proses lamaran. Keluarga Kak Aksa tak menyuarakan nada yang parau, semuanya setuju. Tak kusangka, ketika keluarga Kak Aksa sedang makan, Umi mendekati Ibuk dan memberikan bingkisan. Isinya beberapa helai kain untuk dipakai saat resepsi dan akad nanti.
Aku terkejut karena Umi tidak memberitahuku sebelumnya. Aku memang baru pulang dari Jakarta sehari sebelum lamaran, tetapi bukan berarti Umi tidak bercerita kepadaku tentang yang baru saja beliau lakukan. Aku seperti tidak tahu apa-apa.
“Kak, bisa nggak kalau Kak Aksa pulang belakangan?”
“Hmm.. gimana maksudnya?”
“Kak Aksa nginep sini.”
“Lho, memangnya boleh?”
Aku mengangguk. “Pasti boleh, kan sudah lamaran.”
“Kan, belum halal.”
“Eh, dasar piktor. Kan aku cuma minta kak aksa tidur di rumah, bukan tidur di kamarku. Sono, pake kamarnya tamu.”
Kak Aksa terkekeh. “Memangnya ada apa? Kok mendadak banget sih, ada yang mau diomongin, ya?”
Aku mengangguk cepat. “Umi ini kok ada gelagat nggak enak. Kayaknya banyak hal terkait hari H yang harus kita bicarakan bersama.”
“Ini ada hubungannya sama dana? Kan aku udah bilang, Ay, nanti aku yang biayain pernikahan sesuai rencana kita.”
“Iya, masalahnya rencana Umi kayaknya nggak sama kayak rencana kita! Udah, plis, nginep sini ya, Kak. Nanti kita pulang bareng ke Jakarta bisa? Kalau ada barang yang mau kamu ambil, kita bisa pulang ke Temanggung dulu baru ke Jakarta bareng.” Pintaku sedikit memaksa. Aku tahu Kak Aksa pasti membawa peralatan perangnya. Ia tak akan pergi jauh tanpa tas ransel dan segala barang penting di dalamnya.
“Bisa, kayaknya. Nggak banyak barang penting yang aku tinggal di rumah. Coba aku bicara sama Ibuk dulu.”