“Ta, sorry banget, ya. Aku nggak bisa kalau ngebantah Umi. Apa aku ganti aja uang tiketnya?”
Umi memintaku untuk membatalkan agenda keliling Singapura dan Malaysia dengan sahabatku, Dita, yang sedang kuliah S2 di Bogor. Aku sebetulnya kesal sekali. Kami sudah membeli tiket sejak sebelum kenal dengan Kak Aksa. Aku bahkan sengaja memilih keberangkatan pada hari ulang tahunku karena ingin merasakan bertambah usia di negeri tetangga bersama sahabatku saja. Tetapi, gara-gara pernikahan, semua gagal.
“Pamali. Kalau sudah lamaran, sudah nggak usah banyak tingkah.”
Begitu pesan Umi. Lagi-lagi, aku tak punya pilihan lain selain manut. Kak Aksa sebetulnya juga lebih suka aku tak pergi, tapi dia lebih bijak. Katanya, dia belum ada hak untuk melarangku, jadi aku diminta membuat keputusan sendiri.
“It’s ok, Ay. Aku paham, lah. Lagian tiketnya masih bisa kita refund, kok. Mayan buat beli lipen. Btw, aku bantu apa nih buat nikahanmu nanti?”
“Bantu datang aja, udah lebih dari cukup, Dit. Btw, aku lagi bingung nih soal kerjaan.” Aku langsung curhat padanya tentang masalah di kantorku.
Kantorku kehilangan sumber dana utama. Katanya pegawai senior, gara-gara investor utama lembaga didatangi KPK. Agar lembaga tetap tegar, mereka melakukan pemangkasan dan menyatukan peneliti hukum dan politik. Sebelumnya, ada satu peneliti hukum dan satu peneliti politik. Karena peneliti politik laki-laki dan lebih piawai dalam membuat analisis, aku diberhentikan.
Aku sebetulnya merasa ini tak adil, tapi aku memahami kondisi lembaga. Aku meminta tetap bekerja hingga Februari, agar aku tak menganggur sebelum menjadi istri. Pimpinan mengabulkan. Sekarang, aku harus mencari pekerjaan lain setelah berganti status.
✨ ✨ ✨
Situasiku beda jauh dengan Kak Aksa, dia semakin sibuk di kantor karena harus membuat berbagai laporan data market dan hal-hal terkait itu yang tak kumengerti. Yang kutahu hanyalah penjualan e-commerce melejit. Targetnya kini tidak hanya konsumen Indonesia, tetapi, juga negara-negara tetangga. Kolaborasi pun mereka lakukan dengan influencer, fashion designer, dan crafter. Aku susah sekali mencari waktu untuk bersama. Jika biasanya kami bisa makan malam bareng 3 hari sekali, kali ini bisa bertemu tiap dua pekan saja sudah bagus.
Aku jadi merasa malu sama Umi karena pernah protes dengan rencananya. Apa jadinya kalau sampai detik ini aku yang mengurus sendirian dalam kondisi jauh dari rumah dan Kak Aksa pun banyak pekerjaan?
Saking padatnya, dia harus kembali ke Jakarta tanggal 16 Februari. Padahal, aku sudah ngidam bakalan honeymoon di Lombok. Kalau sudah begini, aku hanya bisa gigit jari dan bersahabat dengan bulan madu yang tertunda.
Soal rumah tinggal, kami memutuskan untuk menyewa apartemen. Kebetulan yang punya saudara Kak Aksa dan dia mendapat harga yang cukup murah untuk kategori apartemen di tengah kota. Seperti kata Umi, semuanya sangat dimudahkan. Saudara Kak Aksa ini dimutasi dan pada saat yang bersamaan, istrinya akan melahirkan, jadi dia butuh apartemennya tersewa segera. Butuh uang. Apartemen ini pun kami dapatkan tepat sepekan setelah lamaran.
Apartemen kami kecil, tetapi, sangat cukup untuk ditinggali berdua. Aku hanya tak suka dengan dapurnya yang terlalu sempit. Karena Kak Aksa makin sibuk jelang hari H dan pekerjaanku banyak berkurang, aku sering menghabiskan waktu menata apartemen. Lama-ama, aku berani menempatinya sendiri. Kadang Kak Aksa mampir untuk sekadar ngobrol dan makan bersama.
Seperti sore ini, Kak Aksa memiliki waktu luang untuk mampir sebentar. Ini akhir pekan tetapi dia tetap ngantor, apa coba namanya kalau bukan dedikasi.
Aku mengajaknya tenguk-tenguk di balkon. Ah, kami sangat hoki, apartemen ini punya balkon. Aku bisa menaruh kursi di luar dan duduk nyaman sore hari bersama Kak Aksa. Terlebih, posisi kamar pas menghadap ke barat. Aku pun leluasa menikmati gradasi langit senja tanpa cela.
“Aku ngelembur buat nambah-nambah tabungan, Ay. Aku yakin tabungan kita cukup. Tapi, gimana, ya, ada rasa nggak tenang aja. Selain itu, proyek ini harus segera aku selesaikan agar kita bisa pulang lebih awal jelang akad. Biar tenang. Masak mau ijab qabul diteror proyek mulu.”
Aku ketawa. “Ho’oh, bisa-bisa ngulang 3x lagi.”
“Eh, soal ijab, kamu maunya Bahasa Arab atau Indonesia?”
“Jepang aja boleh, gak? Banyak gaya amat pertanyaannya.”
“Eh, serius. Kalau Bahasa Arab kan bisa lebih manteb.”
“Kak, ini kayaknya bukan perkara manteb atau enggak, tapi orang-orang yang dengerin paham atau enggak. Udahlah ga usah ribet pake bahasa apa, pokoknya, sah aja.” kataku.
“Buru-buru amat pengen sah, Ay, gak sabar aku peluk-peluk, ya?”
Candaan Kak Aksa membuatku tersipu. Ingin kujawab YA IYALAH. Tapi, gengsi, dong. Jadi hanya tawa garing yang bisa kupersembahkan untuknya.
Selepas aku membuang senyuman, Kak Aksa menggeser meja ke depan. Ia merapatkan kursinya di sampingku. Kursi teras kami memiliki sandaran, jadi walaupun kami mepet, tetap saja ada ganjalan.
Ia melingkarkan lengan kanannya ke bahuku. “Ay, aku nggak pernah merangkul perempuan seperti ini. Sejak SMA, aku selalu penasaran gimana rasanya, tetapi boro-boro mikir ke sana, aku bisa sekolah saja sudah alhamdulillah.”
Kak Aksa memang tak pandai beromantis. Momen tepat seperti ini saja, dia masih menerawang masa lalunya. Kuputuskan untuk menyandarkan kepalaku di lengannya. Tak bisa penuh, tetapi aku yakin ia merasakan kerelaan kepalaku untuk bersandar padanya.
Dia memegang tangan kiriku, menggenggamnya erat.
“Beberapa bulan lagi akan kucium tangan ini, setiap pagi.”
Aku tertawa dan beranjak duduk lagi. Sungguh, romantis bukan kata yang tepat untuk menggambarkan hubungan kami.
“Kak, yang kudunya salim tiap pagi nanti ya aku, dong, bukan kamu. Gimana, sih.” Kusandarkan lagi kepalaku di lengannya.
“Bukan, maksudku… yawes gitu, lah.”
Aku tak menjawabnya. Hanya tetap menggenggam tangan calon suamiku ini. Waktu menunjukkan pukul 17.15. Langit Jakarta semakin memerah, cantik, meski banyak awan kelabu tanda langit berpolusi. Pemandangan sore hari ini, semakin sempurna karena kunikmati dengan Kak Aksa.
Seminggu lagi, kami akan dipingit. Aku diminta berdiam di rumah selama 14 hari, begitu pula Kak Aksa. Sebetulnya agak susah untuk Kak Aksa. Tetapi, berkat pekerjaannya yang bisa selesai lebih awal, Kak Aksa mengantongi izin dari atasannya.
Kami salat maghrib berjamaah, lalu kak Aksa kembali ke kantor. Dari apartemen ke kantor cukup dekat, hanya sekitar 20 menit dengan mengendarai motor. Aku mengantarkannya sampai pintu.