“Lho, sampeyan1 kok gak keramas?”
Aku agak kesal mendengar pertanyaan Abah begitu aku keluar dari kamar mandi. Kenapa Abah nggak sadar bahwa kami sangat lelah? Kak Aksa mendengkur sangat keras semalam, aku tidak tahu bahwa dia sering ngorok atau enggak, yang jelas aku paham bahwa dia kecapekan.
Apalagi aku. Kami menghabiskan nyaris 5 jam berdiri tanpa henti berfoto dan menyalami tamu. Tak ada seorang pun yang membawakan makanan maupun minuman. Aku sangat kesal ketika melihat Abah dan Umi juga keluarga yang lain pada asyik ngobrol dan makan di area keluarga. Tak ada yang menghiraukan kami. Umi memang tidak memakai wedding organizer, hanya panitia kecil. Mereka juga nggak ngeh bahwa manten butuh makan dan minum. Semua ribut dengan urusannya masing-masing dengan para tamu. Aku dan Kak Aksa bukan orang yang populer di kampus, kami tahu persis berapa tamu undangan yang datang dari pihak kami. Tapi, dari orang tuaku? Kini angka 1000 tamu terasa begitu menyiksa! Aku merasa diperlakukan bagai pajangan untuk pesta kedua orang tuaku.
Syukurlah ada Mas Firaz yang perhatian. Dia prengas-prenges naik ke panggung.
“Ay, ini, kamu pasti haus, kan?” Dia menyodorkan sebotol air mineral. Ya Tuhan! Aku langsung meneguk dan membaginya dengan Kak Aksa.
Aku menyesal tidak ngotot ke Umi untuk mempertahankan resepsi sehabis akad. Inginku, akad pukul 7 sampai pukul 9 pagi. Langsung aja resepsi sekitar pukul 10. Acara selesai pukul 1 siang. Beres, kan?
Tapi, Umi tidak menerima saranku. Katanya gak umum resepsi pagi hari. Lho, kata siapa? Aku pernah mendatangi resepsi teman dan semuanya dilakukan pada siang hari. Saat kuutarakan pendapatku, Umi menampik.
“Nggak bisa, dandanannya beda.”
“Kan, lebih enak disamakan aja, Mi,” tuturku. Umi menggeleng sambil mengacungkan jari.
Acara yang seharusnya selesai pada pukul 21.00 pun molor hingga pukul 22.00. Ketika aku menuju parkiran mobil dan berjalan terbungkuk-bungkuk karena terlampau lesu, ada seorang panitia berteriak padaku.
“Eh, mantennya jalannya kok gitu? Tegap dong, Mbak, jangan bungkuk!”
Sontak aku membetulkan posisi, lalu mengendurkannya lagi. “Hih, capek, Bu!”
✨ ✨ ✨
Kalau saja resepsi diadakan siang hari sesuai mauku, tentu minggu pagi ini, aku tak perlu salat subuh pukul tujuh. Aku juga bisa memamerkan rambut basahku kepada Abah tanda aku sudah diperawani.
Aku jadi terheran sendiri, bisa-bisanya Abah sama sekali nggak peka kalau aku sungguh kelelahan. Semalam, Abah bahkan tidak bertanya tentang keadaanku.
Tak sehembus nafas pun aku keluarkan untuk menjawab pertanyaannya. Aku hanya melengos melewati ruang tengah yang masih penuh dekorasi, kuade, dan terlihat sangat amburadul. Aku melengos masuk kembali ke kamar.
Kulimpahkan kegeramanku pada Kak Aksa, aku nyaris menangis. Aku tak mampu menikmati resepsi semalam. Bahkan ketika kami sudah turun kuade, makanan di area keluarga sudah habis. Aku ingin misah-misuh, hanya saja sungkan sama Kak Aksa.
Kak Aksa mendengar ceritaku dengan seksama, lalu menjulurkan kedua kakiku yang masih bersila. Dia memintaku untuk tengkurap.