Impian Soraya

bundatraveler
Chapter #14

Jangan Menunda!

Sudah dua pekan, aku tidak pernah absen membuatkan sarapan untuk suamiku. Mas Aksa juga sudah membelikanku mesin cuci, aku tak lagi kewalahan kucek-kucek baju memakai tangan. Aku jadi memiliki waktu yang cukup untuk menuntaskan risetku dan mengurus proses resign

Sebulan ini, aku dipaksa untuk beradaptasi pada tiga situasi baru. Pertama, kehidupan seorang istri. Kedua, menjadi ibu rumah tangga. Ketiga, mencari pekerjaan. Sebetulnya, aku ingin tetap di rumah saja agar dapat mengimbangi Mas Aksa yang pekerjaannya agak berat, dia kerap berangkat pagi dan pulang larut. Kami hanya bisa betul-betul bersama ketika akhir pekan. Kalau hari biasa ada waktu luang, aku buru-buru mengajaknya nonton pada jam midnight

Umi mewanti-wanti agar aku segera mencari pekerjaan baru, sementara Abah berharap aku mendaftar Magister di Universitas Indonesia. Entah mana yang akan aku pilih. Umi ingin agar aku memiliki pendapatan sekalipun Mas Aksa memiliki gaji yang layak untuk hidup kami di Jakarta.

Wong wedhok iku kudu duwe cekelan.1 Khawatirnya kalau suami kenapa-kenapa,” ujar Umi.

“Kenapa-kenapa gimana, Mi?”

“Ya tiba-tiba ada musibah, ya kalau nakal-nakal. Duh, itu kan bahaya banget.”

Aku sangat memahami kekhawatiran Umi. Beliau pernah bertengkar hebat dengan Abah gara-gara Umi cemburu dengan mantan pacar Abah. Makanya, beliau mudah merasa nggak aman. Sementara, aku tak melihat “bakat” itu pada Mas Aksa. Punya pacar saja ia tak pernah. 

“Iya, tapi, Mi, kayaknya Mas Aksa nggak bakal begitu deh.”

“Sssh… nggak boleh gitu!” Umi buru-buru menutup mulutku dengan kedua tangannya. “Wes percaya sama Umi, nggak ada ruginya kamu pegang uang sendiri. Harus tetap kerja, Nduk. Kalau bisa sebelum resign, sudah dapat pekerjaan pengganti.”

Sementara Abah berharap aku bekerja setelah mendapat gelar M.H. Abah masih sangat berambisi memintaku menjadi profesor. Menurut Abah, pekerjaan akan lebih mudah diperoleh apabila aku memiliki gelar yang tinggi.

Nuraniku tidak sependapat dengannya, tetapi, aku tidak cukup kuat untuk membantahnya. Satu-satunya penolakanku adalah dengan berkata, “Aya ingin kuliahnya di luar negeri, Bah.”

Kedua pendapat orang tuaku sangat mendominasi pikiran sampai-sampai aku susah mengetahui apa yang benar-benar aku butuhkan. Kuputuskan untuk berdiskusi dengan Mas Aksa, eh, dia malah mengajakku liburan.

“Biar fresh, kita jalan-jalan dulu aja gimana? Sekalian honeymoon. Jum’at depan kan libur, kamis aku bisa pulang lebih awal. Minggu balik ke Jakarta, gimana?”

“Mau! Aku mana pernah sih nolak kalau diajak jalan-jalan. Tapi, mau kemana, Mas?”

“Kamu suka pantai, kan? Kita ke Karimunjawa aja, yuk. Tadi teman kantor ada yang habis ke sana bulan November lalu. Aku diberi rekomendasi travel. Kupikir bisa sekalian mampir ke rumah Budhe Karti yang ngasuh aku sejak kecil. Kemarin pas resepsi, beliau nggak bisa datang.”

“Mau banget, Mas!”

“Ya sudah, kayaknya ini waktu yang tepat, kan. Aku kontak temenku dulu, ya.”

Kupandangi wajahnya yang berbinar-binar karena berhasil mengagendakan honeymoon yang aku impikan: ke pantai. Sebetulnya aku ingin ke Lombok, tetapi Karimunjawa juga tak kalah membuatku bergairah. Dia tak pernah gagal membuatku terpana dan bahagia. Dia selalu memiliki cara untuk mengantarkanku pada solusi atas masalahku sendiri.

✨ ✨ ✨

Dari foto yang ditunjukkan Mas Aksa, kurasa Budhe Karti adalah orang yang ramah. Budhe tidak memiliki anak. Mas Aksa bercerita bahwa Budhe pernah memiliki tumor di rahim sehingga kedua rahimnya harus diangkat. Operasi yang sangat memakan biaya, hingga suami Budhe Karti harus menjual sawah. Mas Aksa bukan tipikal orang yang bisa dekat ke seluruh anggota keluarga. Tetapi Budhe Karti sangat diseganinya.

Beliau mengasuh Mas Aksa sejak TK sampai tamat SD. Pada saat itu, perekonomian Bapak sulit sehingga harus bekerja serabutan dan belajar budidaya vanili. Pada saat yang bersamaan, Ibuk sedang hamil anak kedua dan keguguran. Ibuk harus memulihkan diri selama beberapa bulan. Ketika Mas Aksa duduk di bangku Sekolah Dasar, Ibuk hamil Hanif. Ibuk sempat mengalami pendarahan, syukurlah kandungannya berhasil dipertahankan. Alhasil, Mas Aksa sekolah di Jepara hingga kondisi ekonomi Bapak cukup stabil untuk mendidik dua anak bersamaan.

Kami akan menginap semalam di rumah Budhe Karti sebelum naik perahu pada pagi hari menuju Karimunjawa. Sesuai prediksi, Budhe sangat grapyak. Pada saat kami datang, Pakdhe, yang seorang nelayan, membawakan cumi dan ikan segar. Dengan terampil, tangan Budhe membuatkan cumi lada hitam yang langsung menjadi menu favoritku. Aku paham mengapa Mas Aksa begitu sayang dengan Budhe.

Seusai makan, Budhe menghampiriku yang sedang cuci piring. “Nak Aya, sudah kerja?”

Aku menggeleng. “Barusan berhenti, Budhe.”

Sebetulnya aku ingin melanjutkan jawaban bahwa aku sedang mencari pekerjaan baru. Namun, Budhe memberiku satu kalimat yang membuat mulutku terkunci rapat.

“Bagus itu, menurut Budhe lebih baik wanita di rumah saja. Urus Aksa. Aksa pasti tak melarangmu bekerja, tetapi, yang namanya laki-laki pasti lebih suka kalau istrinya ada di rumah ketika ia pulang bekerja. Lagipula, gaji Aksa kan gede, to. Bapak ama Ibuknya juga wes makmur, tahun lalu vanilinya untung banyak, kan. Wes, nggak ada beban kamu, Nak Aya.”

Pendapat Budhe tak kutelan bulat-bulat. Aku tahu, Mas Aksa sangat mendukungku untuk bekerja. Namun, dalam hati akupun membenarkan perkataan Budhe tentang Mas Aksa. Setiap pulang kerja, Mas Aksa tak pernah meletakkan pakaian di baju kotor, selalu aku yang membereskan. Meja kerjanya kerap berantakan, bahkan ia sering lupa menaruh dokumen penting karena meja selalu penuh tumpukan kertas. Belum lagi kebiasaan buruk Mas Aksa yang suka lupa menekan tombol flush pasca buang air kecil maupun buang air besar. Sering kesal aku dibuatnya. Aku tak mampu membayangkan kalau dia pulang kantor dan di rumah sendiri. Bisa-bisa aku stres karena kondisi rumah pasti amburadul dan Mas Aksa takkan tergerak untuk membereskan.

“Budhe dulu juga kerja, Nak Aya. Jadi buruh tani. Lalu budhe kelelahan, tahu sendiri kan, buruh tani itu upah nggak seberapa tapi pekerjaannya bikin boyok linu-linu,” budhe terkekeh sendiri sambil memegang punggungnya.

“Gara-gara itu, Budhe sempat keguguran dua kali. Kemudian, Budhe stres dan musibah datang lagi. Ada tumor di rahim Budhe. Keduanya harus diangkat. Budhe tak memiliki kesempatan lagi untuk memiliki anak.” Mata Budhe mulai berair. 

Aku bingung harus bagaimana. Kuhentikan tanganku yang sedang membasuh piring-piring kotor dan mengajak Budhe duduk. Aku ingin mendengar ceritanya.

“Budhe menyesal sekali mengapa tidak di rumah saja, buka warung, kek, menjahit, kek. Nggak semua kehamilan itu kuat dengan pekerjaan di luar rumah. Tapi, ya sudah, mungkin ini yang terbaik. Anak-anak Budhe, mungkin telah menanti Budhe di pintu surga.” Aku memeluk budhe yang mulai tak mampu membendung air mata.

“Iya, Budhe, amin. Insya Allah,” aku membesarkan hatinya. 

Lihat selengkapnya