Mei 2015
Aku mengikuti arahan Mas Aksa.
Aku mengajukan lamaran di sebuah kampus swasta di depok dengan bekal rekomendasi dari mantan atasanku di ICSS. Jalanku mulus seperti kulitnya Sophia Latjuba. Aku bahkan bisa langsung bekerja sehari setelah dinyatakan diterima.
Aku diterima sebagai asisten peneliti seorang profesor. Beliau tertarik mengambilku karena aku pernah ikut short course di Berlin dan Leipzig selama sebulan. Kebetulan, empat bulan lagi, profesor ini akan melakukan joint research di Hamburg.
Beliau yang membuka tangannya untukku bernama Prof. Jenny. Sebagai profesor, dia memang terkadang menyeramkan. Setelah beberapa pekan bekerja dengannya, kuamati beliau suka memakai baju yang senada dengan warna yang mencolok, persis Queen Elizabeth II. Uniknya, beliau memadukan kemeja atau blazer dan rok dengan sneakers. Umumnya, sih, dosen akan memilih sepatu flat atau hak tinggi.
Pemikirannya kritis, analisa yang tajam, dan beliau sangat produktif dalam menulis. Kudengar celetukan dari rekan dosen muda, Prof. Jenny, tuh, batuk aja jadi buku. Karena kepiawaiannya dalam bidang Hukum Tata Negara, beliau sering diundang menjadi saksi ahli di Mahkamah Konstitusi. Dia satu-satunya profesor di fakultas, usianya pun terbilang masih muda, 40 tahun.
Tiga bulan pertama, aku sibuk membantu keberangkatan Prof. Jenny dan menuntaskan tulisannya yang akan diterbitkan di Jurnal Internasional. Ini pengalaman baru yang menyenangkan untukku. Terkadang kami di kantor sampai lewat waktu Isya. Seperti malam ini.
“Kamu, kok, nggak ambil kuliah lagi aja, Ay?” Tanya Prof. Jenny suatu hari.
“Saya ingin, Prof. Tapi saya inginnya ambil di Jepang,” kataku.
“Oh, memangnya kamu mau jadi apa?”
“Dosen, Prof,” jawabku singkat.
“Baguslah, saya mendukung, kapan rencana kamu berangkat?”
“Belum tahu, Prof. Saya nyesuaikan jadwal dengan suami,”
Prof Jenny tertawa. “Ah, iya, kamu sudah bersuami, ya. Saya dulu juga gitu, seperti kamu. Repot memang kalau waktu kerja kita ama suami berbeda. Akhirnya saya yang ngalah, ambil master di UI, S3-nya baru di luar negeri.” Aku menyimak cerita singkat beliau. “Kamu kenapa nggak ambil di UI aja dulu? Ini mumpung lagi buka SIMAK, loh.”
“Ngg… anu, Prof,” aku bingung memberikan jawaban ke Prof. Jenny.
“Kalau kamu mau, saya beri rekomendasi. Soal penelitian atau joint research ke luar negeri, jangan khawatir, Ay. Di UI kamu bisa menjalin koneksi dengan banyak orang. Kamu sudah ada bekal jadi peneliti juga, kan,” Prof Jenny menyemangati.
Lagi-lagi aku goyah. Tawaran Prof. Jenny susah untuk kuabaikan. Kalau aku dapat rekomendasi beliau, aku yakin bisa masuk. Tinggal tesnya saja yang perlu belajar sebentar.
“Terima kasih, Prof, akan saya pikirkan dulu.”
“Oke, nanti berkabar aja kalau kamu berubah pikiran. Eh, ini kamu mau pulang jam berapa? Apa nggak papa malam ini lembur lagi?”
Aku mengangguk. “Nggak papa, Prof. Suami saya pengertian. Nanti dia menjemput pukul 9 malam.”
“Oke, nanti saya juga balik jam segitu aja. Aya, draft tentang keterbukaan informasi publik ini tolong kamu proofreading dulu ya, saya ngasih revisi di bagian kesimpulan.”
“Baik, Prof.”
✨ ✨ ✨
Aku mendiskusikan saran Prof. Jenny dengan Mas Aksa. Dia menyambut dengan senyum yang lebar. Tentu dia lega kalau aku mau ambil S2 di Indonesia, karena dengan begitu, ia tak terbebani akan impianku ke luar negeri dalam waktu dekat.
“Ay, aku bukannya nggak mendukung impianmu. Tetapi, kalau kamu kuliah di sini dan aku kerja di sini, kita bisa sejalan. Nanti saat kamu kuliah S3, aku mungkin bisa lanjut studi juga, kita kuliah bareng. Asyik, kan?”
“Yaelah, Mas, S2 aja belom udah mikir S3. Mumet, tau.” kataku sewot.
Mas Aksa tak mempedulikan tanggapanku. Ia sedang sibuk di depan laptopnya, aku tak begitu tahu apa yang dia cari hingga aku lihat ada logo kampus UI yang terpantul di kacamata yang baru dibelinya bulan lalu. Oh, dia rupanya sedang membantuku mencari informasi tentang UI.
“Mas cari info penerimaan mahasiswa baru, ya?”
Mas Aksa mengangguk. “Aku coba carikan info beasiswa juga, siapa tahu bisa daftar.” Jemari Mas Aksa masih terdengar nyaring di atas keyboard. Aku memalingkan pandangan ke jus melon yang baru dibuatnya. Segera kuseruput jus berwarna hijau yang segar itu. Ah, Mas Aksa selalu pas dalam meramu jus. Kalau aku yang membuat biasanya terlalu encer atau malah terlau manis.
Lima menit kemudian Mas Aksa berseru, “Yah, sayang banget, Ya Allah…”
“Kenapa, Mas?”
“Beasiswa Garuda sudah tutup pendaftaran, terakhir akhir Maret lalu, Ay.”
“Oh…” Aku melongo. Tak begitu paham tentang apa itu beasiswa Garuda, hanya saja kurasa itu jalur yang dapat mengantarkanku kuliah tanpa mengeluarkan biaya banyak. Aku memang tak lihai mencari informasi beasiswa. Kalau soal ini, Mas Aksa lebih jago.
“Apa nggak ada jalur lain? Gelombang 2 mungkin?” Tanyaku.
Dia menggeleng. “Kalau mau kuliah bulan September, harus daftar periode kemarin. Kalau daftar setelah September, kamu baru diizinkan kuliah tahun depan. Ini beasiswa pemerintah, Ay, agak ketat aturannya. Mekanisme beasiswa ini daftar beasiswanya dulu baru cari kampus,” terang Mas Aksa.