Sejak Umi dan Abah terus membombardir kami dengan “isi-isian”, aku dan Mas Aksa makin sering berhubungan, rasanya seperti kejar tayang. Aku rajin test pack meski hasilnya selalu negatif. Aku menyergap masa subur dengan kalender dan perhitungan aplikasi. Aku juga menjajal sebuah alat canggih untuk mengecek kesuburan dengan sistem yang sama seperti mengecek kehamilan. Kadang aku sedih, tes kesuburan saja juga selalu negatif. Mas Aksa sampai khawatir apa salah satu dari kami mengalami infertilitas.
Beruntung Bapak dan Ibuk tidak ikut-ikutan, mungkin mereka lebih pusing dengan perkara kebun dan utang sehingga tidak mau repot-repot memenuhi pikirannya dengan mengajukan pertanyaan untukku dan Mas Aksa.
Seperti subuh ini, aku buka lagi satu test pack. Mas Aksa ikut menanti di luar kamar mandi.
Negatif.
“Mungkin karena kamu anak tunggal, makanya cucu pertama ini sangat dinanti.”
Benar, kurasa juga begitu. Tetapi, mengapa mereka sampai hati menyuruhku buru-buru ikut program bayi tabung yang mahal itu? Aku yakin, Abah menawarkan padaku karena Abah punya dananya. Misalnya aku menolak karena alasan biaya, Abah akan menawarkan simpanannya. Tapi, masalah utama bukan ada pada uang. Ini, kan, belum jelas alasannya mengapa aku belum kunjung hamil.
“Apa hidupku sebagai anaknya cuma untuk ajang pameran ya, Mas? Pernikahan kita, penantian mereka untuk memiliki cucu, seolah-olah diperlukan banget untuk Umi dan Abah untuk diumumkan ke khalayak luas,” kataku.
“Aku awalnya berusaha tenang, tapi Umi dan Abah terus khawatir, kamu juga. Aku jadi merasa salah banget kalau nggak segera hamil.”
Mas Aksa sepertinya menyadari bahwa aku mulai down. “Hey, Sayang, sini,” dia segera memelukku.
“Maaf aku bukannya mau membuatmu galau, aku hanya berusaha jujur menyampaikan kegelisahanku. Takutnya, ini juga gara-gara aku, ada yang salah dengan tubuhku. Kan sudah kuceritakan soal Ibuk dan Budhe Karti. Aku nggak nyalahin kamu, Ay. Ini kan kita berdua yang sedang berusaha.”
Aku menyambut pelukannya, bersandar pada dadanya. Pagi ini terasa begitu berat buatku.
“Kita coba lagi besok, ya. Kalau dua bulan lagi nggak ada hasil, kita cari dokter lagi.”
✨ ✨ ✨
September 2015
Syukurlah aku masih punya pekerjaan, jadi aku tak diliputi suasana gusar terlalu lama. Prof. Jenny, meskipun sudah di Jerman, tetap rajin mengirim materi dan cerita risetnya. Dia begitu semangat untuk menyuruhku menulis jurnal lagi. Seperti siang ini, aku mendapat kabar kalau jurnalku dan Prof. Jenny lolos Q2! Alhamdulillah, lumayan untuk menambah portofolio.
Prof. Jenny mengusulkan kepada Wakil Dekan agar aku mengelola jurnal hukum kampus selama beliau di Hamburg. Aku menerima saja. Aku tak memiliki alasan untuk menolak karena aku masih sangat junior dan butuh pengalaman. Bagiku, pengajuan dari Prof. Jenny ini membanggakan. Aku masih terbilang baru dan sudah dipercaya untuk melakukan hal penting di fakultas.
Tapi, jurnal ini punya satu masalah penting: minim peminat. Mungkin karena masih baru dan belum terakreditasi nasional. Pak Wicak, ketua jurnal Bilik Hukum mengatakan padaku bahwa beliau sudah menyerah menggaet dosen dalam kampus untuk aktif menulis.
“Mbak, cuma orang gila yang mau menghabiskan waktu untuk mengurus jurnal. Akreditasinya susah, tulisan berkualitas juga nggak banyak yang masuk. Kamu yakin mau membantu saya?” Begitu kalimat pertamanya saat aku masuk ke ruangan. Sepertinya Pak Wicak belum mendengar kegiatanku bersama Prof Jenny.
“Mm… saya asisten Prof. Jenny, Pak. Beliau dan Wakil Dekan meminta saya untuk menemui Bapak, barangkali ada yang bisa saya bantu, Pak,” aku berkata perlahan, khawatir terkesan jumawa.
Dugaanku benar. Pak Wicak yang tadinya masih mencari buku di lemari, segera menoleh begitu mendengar aku menyebut kata Prof. Jenny.
“Iya, saya tahu kamu sudah tembus beberapa jurnal. Tapi, Mbak, kompetensi saja nggak cukup. Saya butuh orang yang tangguh.”
“Saya coba dulu, ya, Pak?”