Umi memintaku untuk melahirkan di Surabaya saja dan memintaku pulang ke Sukolilo sebelum bulan ketujuh. Bagaimana mungkin? Aku kan punya pekerjaan, sementara aku sudah mengambil sebagian besar jatah cuti pada trimester pertama.
“Resign dulu saja, Nduk. Lagian kan kamu di sana belum jadi karyawan tetap. Nanti kalau sudah lahiran, balik lagi. Daftar pekerjaan lain. Umi yakin kamu bisa dengan cepat dapat pekerjaan baru.”
Kuceritakan hal ini pada Mas Aksa. Ternyata, dia setuju.
“Kesehatanmu dan Baby K adalah yang utama, Ay,” kata mas Aksa. “Aku mau nemenin kamu saat melahirkan nanti, itu berarti aku harus mengambil paternity leave. Di Indonesia kan cuma 2 hari. Untungnya, atasanku perempuan, dia mau ngasih sebulan. Hanya saja, aku harus bekerja agak ekstra sebelum mengambil cuti. Aku khawatir nggak bisa mengurusmu dengan baik di sini, Ay.”
“Ya aku kan sudah baik-baik aja, Mas,” kataku.
“Aduh, nggak jamin. Selama hamil baby K, sesakmu kumat berapa kali? Belum lagi alergi gatal-gatalmu yang entah datang dari mana. Kemarin tensimu juga agak tinggi. Aku harus jaga makananmu agar kamu nggak makan yang terlalu asin biar kamu nggak preeklampsia. Aku nggak bisa biarin kamu kalau nggak ada yang jagain. Kalau kamu sama Umi dan resign dulu sementara, aku bisa lebih tenang, Ay.”
Ucapan Mas Aksa logis. Aku juga tercengang, bagaimana bisa seluruh alergiku janjian untuk hangout bareng saat aku hamil begini.
“Tapi, aku nanti ngapain aja di rumah, Mas? Bosen kalau aku nggak kerja,” kataku.
“Coba hubungi Prof. Jenny. Mungkin kamu tetap bisa mengerjakan jurnal dari rumah? Kita bisa boyong beberapa buku sekalian. Tapi pekerjaan kamu di Jurnal Bilik Hukum lebih baik ditinggalkan dulu, Ay,” saran Mas Aksa.
Mendengarnya berkata demikian, aku bisa membayangkan rasa keki yang akan menghampiri Pak Wicak. Ah, Pak, maaf.
✨ ✨ ✨
“Dear, Aya. Kamu lebih baik persiapan melahirkan dulu. Nanti jika sudah siap untuk bekerja lagi, segera kabari saya, ya.”
Begitu isi email terakhir Prof. Jenny.
Aku berusaha berpikir bahwa beliau mengerti keadaanku. Meski sejujurnya, aku aku sedih, apa lagi yang aku lakukan di rumah nanti selain nonton film dan baca buku.
Awalnya aku senang karena ada Umi. Sejak awal, Umi memperhatikan kehamilanku dengan sangat ekstra. Umi menyempatkan datang ke Jakarta pada trimester kedua. Selama di Surabaya, Umi membantu mencarikanku dokter kandungan sesuai kriteriaku. Alhamdulillah, semuanya ketemu. Semuanya teratasi.
Mendadak, aku melihat Umi dari sisi yang lain ketika menjelang kedatangan Baby K.
Dokter menyarankan induksi pada tanggal 2 Juni, karena Hari Perkiraan Lahir yang seharusnya jatuh pada tanggal 6 sudah sangat dekat. Kukatakan pada dokter bahwa aku masih bisa menunggu dengan induksi alami, tetapi dokter mengkhawatirkan kondisi janinku yang punya banyak masalah sejak awal. Akhirnya, kuikuti anjuran dokter.
Kata para ibu muda di forum online, induksi akan terasa begitu menyiksa. Tapi, mana? Botol pertama kulalui biasa-biasa saja. Bahkan perawat kaget menemuiku tertidur lelap.