“Maaf ya, Ay, maaf banget,” Mas Aksa terisak sambil memegang tanganku.
“Kenapa kamu nangis, Mas?” Aku memandangi dirinya yang mengenakan kaos merah dan sarung. Kuduga, dia baru mengadzani bayiku, Baby K. Ah, iya, mana bayiku? Kenapa aku tak bisa IMD dengannya?
“Mas, aku kok nggak IMD? Mana Baby K?” Aku menghujani pertanyaan kepadanya meski aku tahu staminaku masih jauh dari prima.
“Dia di…”
“Halo, Mam. Wah, alhamdulillah lancar tadi, ya,” Tiba-tiba dari arah pintu, aku melihat dokter Dina, dokter anak yang membantu kelahiran Baby K. Beliau langsung memegang lengan kiriku. Kebetulan, aku terbaring di dekat pintu ruang recovery. Penampilannya memang agak nyentrik, dia memakai turban polkadot dan kacamata retro, lengkap dengan kalung mutiara. Persis seperti yang aku lihat di Facebook saat riset kecil. “Sekarang santai dulu, ya. Istirahat dulu.”
“Makasih, dokter, bayiku mana ya, dok?” Aku mengajukan pertanyaan yang sama padanya.
“Masih di NICU,” kata dokter Dina. Dia seperti kebingungan, bola matanya ke arahku dan ke arah suamiku. “Nggak papa, Mam, dia baik-baik saja,” lanjutnya.
Mendengar kata NICU, aku langsung terisak. “Ini gara-gara saya ngotot minta lahiran normal, ya, dok?”
Dokter Dina jadi agak canggung. Mungkin ia tak menduga akan bertemu aku yang menangis seperti ini, padahal beliau tadi masuk dengan wajah yang ceria.
“It’s ok, Mam. Saya tinggal dulu sebentar, ya,” dengan cepat beliau kabur lagi meninggalkan kami berdua. Mungkin dia mengira Mas Aksa telah menceritakan apa yang terjadi. Aku hanya memandangi Mas Aksa yang masih sembab matanya.
“Maaf aku nggak total menjadi calon ayah, maaf kamu harus mengalami ini semua sendirian,” ia tak henti meminta maaf.
Kulihat ada seseorang yang datang, aku menoleh dan ada Umi memakai cover baju yang disediakan oleh dokter. Mata Umi pun memerah, aku jadi menyangka ada apa-apa dengan Baby K.
“Baby K gimana, Mi? Apa aku bisa ketemu?”
Umi membuka hapenya. Sinar ponsel yang menyinari wajah Umi menunjukkan hidungnya yang merah, tanda Umi baru saja menangis. Kemudian, beliau membungkuk, menyodorkan ponselnya ke arahku.
“Cantik, ya. Dia senyum, lho waktu difoto. Tadi Umi foto waktu dia diadzani,” tutur Umi sambil tersenyum ketika menunjukkan foto anak yang belum kami beri nama.
“Kata perawat, kamu belum bisa ketemu dulu, tapi dia baik-baik saja,” lanjut Umi.