September 2016
“Ay, kamu nggak papa tanpa bala bantuan? Kita nggak mungkin bawa rewang ke Jakarta. Kamarnya nggak cukup. Terus, aku juga belum tentu bisa selalu pulang awal. Kamu tahu sendiri kerjaanku gimana di sini,” aku masih mengingat alasan Mas Aksa nggak mau membawaku kembali ke Jakarta sebelum Kaida berusia 6 bulan.
Mas Aksa selalu meneleponku setiap aku mengirimkan pesan “Mas, tolong, bawa aku ke Jakarta. Jangan lama-lama, aku bisa mati lebih cepat di sini!” Awalnya Mas Aksa biasa saja, lama-lama dia paham bahwa itu adalah sinyal SOS dariku.
Aku tak sanggup. Aku tak tahan dengan banyaknya pola pengasuhan yang berseberangan dengan Umi. Kaida sudah diberi tontonan YouTube ketika usianya 1.5 bulan. Sudah begitu, aku merasa diremehkan, dianggap tidak tahu apa-apa. Kami berdebat mulai dari hal yang sepele seperti memakai gurita bayi, membedaki alat kelamin bayi, waktu makan, hingga menyusui.
Berkali-kali Umi berkata, “Kaida itu masih lapar, apa mungkin susumu kurang banyak? Dibotolin aja, ya, kalau langsung kamu susui kan nggak terlihat berapa ml habisnya?”
Seketika aku sewot. Aku memiliki waktu yang melimpah untuk menyusui langsung, mengapa Umi terus menyuruhku untuk menyodorkan dot? Kurasa, Umi sedang berebut waktu menyusui Kaida denganku. Umi begitu bernafsu untuk menyusui Kaida. Sudah begitu, Umi membuatku tak percaya diri dengan berkata ASI-ku tak cukup untuknya. Padahal, setiap menyusui, aku selalu menadahi ASI yang muncrat-muncrat dari payudara sebelah. Kalau dikumpulkan, bisa sampai 100 ml. Aku juga sudah belajar dengan Dokter Dina mengenai posisi menyusui yang disukai Kaida. Kenaikan berat badannya pun lumayan baik. Semua oke, hanya Umi yang terus membuatku gelisah.
Aku sudah memikirkan baik-baik. Aku akan menjadi pengangguran sampai Kaida cukup siap untuk aku titipkan di daycare. No rewang no cry. Asal aku bersama Mas Aksa, kurasa aku mampu melaluinya. Memang sebulan terakhir, terutama sejak ada pergantian direksi, kantor Mas Aksa menjadi sangat menyebalkan. Paternity leave-nya ditolak.
Begitu Kaida berusia 3 bulan, aku memboyongnya kembali ke Jakarta. Umi dan Abah tentu tak mengizinkan. Tetapi, begitu aku katakan bahwa aku akan bekerja lagi dengan Prof. Jenny dan daftar kuliah S2, tiba-tiba saja izin itu keluar dengan gangsar.
“S2 kan masih buka tahun depan, Ay, kamu di sini saja dulu lah, biar Umi temenin urus Kaida,” bujuk Umi.
Aku menggeleng. “Nggak bisa, Mi. Aku harus terus bekerja sama Prof. Jenny agar diberi rekomendasi ke UI. Beliau suka sekali dengan kinerjaku, lho.”
Aku sebetulnya cukup yakin punya kemampuan masuk ke UI tanpa bantuan Prof. Jenny. Tapi, ini demi negosiasi dengan orang tuaku.
Mendengar kata rekomendasi, Abah angkat bicara. “Ya sudah, Abah setuju aja. Tapi nanti kamu di sana gimana, repot, lho, urus anak sambil bekerja. Apa mau Abah bawakan rewang saja?”
Aku kembali menolak. “Susah, Bah, nggak cukup tempatnya. Aku nggak nyaman tinggal sama orang lain di apartemen. Ya nanti kayaknya aku mulai ngantor kalau Kaida sudah usia 6 bulan saja. Sekitar itu, Prof. Jenny juga sudah kembali ke Indonesia,” aku menerangkan dengan jujur apa adanya
“Kalau begitu, Abah bantu bayarin daycare-nya, ya? Abah nggak tega kalau Kaida kamu taruh di daycare. Coba kamu cari daycare yang agak premium di Jakarta, agar kita bener-bener tenang.”
“Wah, mau banget, sih, Bah. Makasih, ya!”
“Iya, tapi kamu beneran daftar UI lho, ya. Harus ketrima.” Abah mengajukan syarat.
Tak tahu. Aku tak yakin akan melakukannya, secara dua tahun lalu aku gagal daftar gara-gara Ibuk. Pikir nanti, yang penting aku sudah bisa pergi dulu dari rumah.
✨ ✨ ✨
Desember 2016
Kini, Prof. Jenny sudah kembali lagi ke Indonesia dan sudah pasti butuh asisten untuk risetnya. Baiknya, beliau masih mau menungguku. Begitu Kaida berusia 6 bulan, aku titipkan dia ke daycare khusus untuk bayi di bawah dua tahun. Harganya memang sangat mahal, tapi demi kewarasanku, aku melakukannya. Mas Aksa juga tak keberatan, sebab aku hanya meninggalkan Kaida selama 6 jam bekerja. Aku meninggalkan ASI perah dan MPASI yang telah aku olah sendiri. Kaida sarapan dan makan siang dengan penjaga Kaida, sementara makan malam denganku. Aman semuanya.
Aku pusing ketika Kaida mulai menolak makan. Aku coba meladeni apa maunya. Lama-lama, aku stres sendiri dan menangis.
Mas Aksa menyadari masalah yang sedang kuhadapi. Terkadang, dia pulang dengan pemandangan aku sedang menangis dan Kaida belepotan bubur. Hari ini, dia mendapatiku ngomel menghadap ke tembok. Aku tak punya pilihan lain, daripada aku ngamuk ke Kaida?
“Sayang, Kaida kenapa?"
“Menurut kamu?! Emang nggak bisa lihat?” Mas Aksa bengong.
“Iya, dia berantakan makannya…”