Mei 2017
Aku menggenggam rekomendasi dari Prof. Jenny untuk masuk ke UI. Di tengah keruwetan anemianya Kaida, secarik kertas ini bagai angin segar buatku. Memang aku tidak sedang mendaftar beasiswa ke luar negeri, tetapi, surat ini barangkali bisa bermanfaat juga untuk karirku ke depan.
Aku sudah memutuskan. Tak masalah aku menuruti keinginan Abah. Beliau akan bangga, akupun bisa mengambil bekal untuk jenjang karir yang lebih tinggi. Aku mengikuti pendaftaran gelombang pertama. Apalagi, tahun ini pertama kali Fakultas Hukum UI membuka Program S2 Double Degree. Aku belum tahu kampus di negara mana yang menjadi mitra, tetapi, sudah pasti peringkat dan kompetensinya sebaik UI. Ah, mungkin ini hikmah kegagalan dua tahun lalu.
Mas Aksa juga mendukungku, dia mengizinkan jika kelak aku menempuh setahun kuliah di luar negeri. Dia mengantarku ke Depok, menungguiku hingga masuk kelas dan menjemputku pada sore hari setelah ia pulang kantor.
UI pun tidak lama memberi pengumuman. Hanya dalam waktu dua minggu, aku sudah dapat melihat hasilnya. Alhamdulillah, aku diterima! Aku begitu semangat daftar ulang. Kubayar uang masuk kuliah dengan tabunganku dan dengan segera aku menggenggam jaket kuning kebanggaan. Kukirimkan foto ini ke Abah. Aku lega bisa membuatnya bangga.
✨ ✨ ✨
Awalnya kukira vitamin dari Dokter Ratri ini bekerja seperti obat. Ternyata tidak. Tujuh bulan pertama setelah aku menghabiskan tiga botol vitamin, aku kembali ke dokter. Beliau pun meminta untuk melakukan cek darah lagi. Hasilnya?
“Ini cuma naik 1 digit, Bun. Diteruskan lagi, ya, zat besinya,” lanjut beliau.
Aku terpaku. Aku merasa upayaku selama lima bulan ini gagal total. Sebentar lagi Kaida berulangtahun. Umi serta Abah akan berkunjung ke Jakarta. Apa kata mereka kalau melihat Kaida yang tak lagi gemol. Bisa-bisa, Umi akan menyalahkanku mengapa aku tak memberi Kaida pisang pada usia 3 bulan. Atau Umi akan memarahiku karena tidak mau memberinya susu formula.
“Dok, apa ada solusi lain? Saya sudah melakukan saran dokter, saya kasih dia daging merah, minum vitamin sebelum makan, sayur dan buah saya batasi, tapi kok lama banget pulihnya, Dok?” Aku bertanya dengan suara bergetar.
Mas Aksa menenangkanku dengan mengelus punggungku. “Makannya tetap susah, dia juga sering sakit. Kalau sudah sakit, makin nolak makan, Dok. Ini kayak lingkaran setan, Dok,” aku nyaris terisak.
Dokter mendongak. “Bunda apa memberi zat besi ketika Kaida sakit?” Aku mengangguk.
“Jangan diberikan dulu ya, Bunda. Zat besi hanya diberikan kalau Kaida sehat. Kalau dia sakit, itu sama aja kayak ngasih makan bakterinya,” Dokter Ratri berkata sangat santai, memandang mataku yang sudah memerah dan kembali menulis resep seolah tak ada beban. Tubuhku mulai panas. Akut tak dapat menahan amarah ini lebih lama lagi.
“Mengapa dokter tidak memberi tahu saya sejak awal?” Aku menggebrak meja, memajukan tubuhku ke arah Dokter Ratri. Dia terlihat kaget, sampai-sampai ia mundur dari kursinya. Aku kembali duduk dan menangis tersedu, Mas Aksa memelukku. Kurasa, dia pun tak kepikiran aku akan senekat itu.
“Sabar, Ay, sabar…”
Aku membenamkan wajah di pelukan Mas Aksa. Aku dapat mendengar derap langkah dokter keluar ruangan diantara pekikan tangisan Kaida. Tak lama kemudian, ada manajemen rumah sakit menghampiri kami, mengajak kami keluar ruangan dan mengajak mediasi.
Aku tak mengindahkan ajakannya. Aku melenggang keluar ruang periksa anak, meninggalkan para manajemen rumah sakit, Mas Aksa, dan membiarkan mata orang tua pasien lain melekat padaku di sepanjang lorong. Aku tak peduli. Aku hanya tak ingin lagi anakku diperiksa oleh dokter menyebalkan itu.